DeTAK POLITIK - EDISI 175
Sistem Demokratisasi telah dijadikan agenda unggulan reformasi sejak lahirnya. Adakah yang berubah? Adakah kemajuan yang dicapai melalui reformasi institusi? Lantas bagaimana pula peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam agenda unggulan itu?
Sistem Demokratisasi telah dijadikan agenda unggulan reformasi sejak lahirnya. Adakah yang berubah? Adakah kemajuan yang dicapai melalui reformasi institusi? Lantas bagaimana pula peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam agenda unggulan itu?
Berakhirnya rezim otoriter Orde Baru ditandai dengan semangat untuk melakukan reformasi institusi. Di era transisi menuju demokrasi, lembaga yang sudah ada lebih dulu dihadapkan pada krisis kepercayaan publik yang besar.
Lembaga itu dianggap tak mampu lagi menjawab persoalan yang muncul. Disitulah kemudian muncul state auxiliary agency (lembaga negara tambahan) yang berwujud pembentukan lembaga negara baru dan komisi baru.
Menurut Ibnu Elmi AS Pelu, sejak 2003 paling tidak telah berdiri sebanyak 14 komisi. Diantaranya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPKPN, Komisi Ombudsman, Komisi Yudisial, dan sebagainya.
"Diakui atau tidak, keberadaan lembaga negara tambahan itu otomatis menjadi pondasi baru bagi desain bangunan ketetanegaraan Indonesia di era reformasi, sekaligus merubah gagasan Trias Politica yang diintrodusir Montesquieu," kata Ibnu saat menjadi pembicara pada Sosialisasi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil kerjasama anggota DPD RI H Said Akhmad Fawzi Z Bachsin dengan Tabloid DeTAK di Hotel Dandang Tingang Palangka Raya, Sabtu pekan lalu.
KPK misalnya, terang Ibnu, jelas dibentuk karena ketidakberdayaan kepolisian dan kejaksaan. Dengan munculnya KPK diharapkan lebih banyak melakukan terobosan terhadap fakta terjadinya korupsi.
"Secara cultural law, dengan adanya KPK, maka lembaga penegak hukum lainnya harus membenahi diri," kata Akademisi bergelar Doktor jebolan Universitas Brawijaya ini.
Sama halnya dengan Komisi Yudisial, pengawasan terhadap perilaku hakim. "Apakah pengawasan internal di Mahkamah Agung selama ini tidak jalan? Lalu dibentuklah pengawasan secara eksternal oleh Komisi Yudisial," kata Master Ilmu Hukum ini.
Ibnu mengakui tidak mudah untuk menata langsung semua sistem yang sesuai dengan tuntutan zaman. Apalagi transisi yang terjadi tidak hanya dalam satu koridor, melainkan multiarah dan multidimensi. Masa transisi dari rejim otoriter menuju penerapan demokrasi, jelas Ibnu, berlangsung dalam kondisi masyarakat, negara, dan institusi yang terpuruk dalam krisis.
Ketika amendemen (perubahan) UUD 1945 dimulai, katanya mencontohkan, terjadi silang pendapat yang bermuara pada tiga dimensi. Pertama, UUD 1945 dianggap 'sakral' sehingga steril dari sentuhan.
"Sikap ini dibuktikan dengan diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1993 tentang Referendum yang berisi kehendak untuk tidak melakukan perubahan UUD 1945. Apabila muncul kehendak mengubah terlebih dulu dilakukan referendum dengan persyaratan yang sangat ketat, sehingga kecil kemungkinan untuk berhasil. Usul perubahan harus diajukan ke sidang MPR untuk dibahas dan diputus," jelas Ibnu.
Kedua, dikhawatirkan akan merubah norma dasar (groundnorm) atau norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), yaitu Pancasila. Ketiga, cemas hasil amendemen akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kendala ini, terang Ibnu, kemudian terjawab dengan menyepakati amendemen tanpa menyentuh sama sekali area groundnorm, mempertahankan NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, dan penjelasan UUD 1945 yang memuat ha-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal atau batang tubuh.
Perubahan awal dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 yang menghasilkan perubahan pertama. Usai itu, dilanjutkan dengan perubahan kedua pada Sidang Tahunan MPR 2000, perubahan ketiga 2001, dan perubahan keempat pada Sidang Tahunan 2002.
"Semua perubahan itu merupakan satu rangkaian dan satu sistem kesatuan. Ini yang harus dipahami," tegas Ibnu.
Akibat perubahan, lanjut pria kelahiran Buntok Kabupaten Barito Selatan 35 tahun lalu itu, terjadi perubahan paradigma pemegang kekuasaan kedaulatan rakyat. Dimana kedaulatan rakyat yang dulu dilakukan sepenuhnya oelh MPR, berubah menjadi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD .
"Kedaulatan yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR, justru telah mereduksi paham kedaulatan rakyat menjadi paham kedaulatan negara. Suatu paham yang hanya lazim dianut negara otoritarian. Sedangkan, perubahannya yakni kedaulatan rakyat dilaksanakan sendiri oleh rakyat melalui pemilu, tidak diserahkan kepada badan/lembaga manapun juga," rincinya.
Dengan perubahan itu, sambung pria yang S2 Hukumnya dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Kalimantan Selatan ini, tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara.
"Kedudukan setiap lembaga negara bergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD RI 1945. Semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling mengimbangi," sebut Ibnu.
Sayangnya, dosen ilmu Hukum pada Jurusan Syari'ah STAIN Palangka Raya ini mencemaskan bahwa reformasi hanya berhasil pada perubahan tatanan ketatanegaraan, sementara pada tataran impelmentasinya hingga kini belum sepenuhnya terjadi.
"Ibarat buah, 'ia' (tatanan ketatanegaraan-red) masih berada diatas, belum semuanya jatuh ke bawah," tandas Ibnu. Tak heran jika ia berharap banyak pada keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang juga merupakan salah satu lembaga baru selain Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial.
"Kalau perlu anggota DPD tidak hanya empat orang dari satu provinsi, tapi menjadi 24 orang sehingga kinerja semakin maksimal dalam rangka mengaspirasikan kebutuhan daerah yang diwakili," usulnya, seraya melirik Fawzi Z Bachsin yang duduk disampingnya.
Fawzi tersenyum lebar dan memberi apresiasi pada usulan Ibnu. Diakuinya, meskipun DPD setara kedudukannya dengan lembaga negara lainnya, sebutlah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, namun wewenangnya masih terkesan 'dikebiri'.
Wewenang DPD, sebut Fawzi, masih sebatas mengajukan kepada DPR rancangan UU soal otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Termasuk, memberikan pertimbangan soal pajak, pendidikan, agama, dan memberi pertimbangan pada calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Tapi, semua itu tak membuat DPD bertindak lebih karena kewenangan pengawasan sangat terbatas. Hasil pengawasan hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan pertimbangan, tidak ikut serta dalam pembahasan apalagi pengambilan keputusan," beber Fawzi.
Makanya dalam pengajuan perubahan kelima UUD 1945 yang sudah dirampungkan DPD, terang Fawzi, naskah usulan perubahan sangat komprehensif. Usulan perubahan kelima menyangkut penguatan tiga isu sentral, yakni memperkuat sisten presidensial, memperkuat lembaga perwakilan, dan memperkuat otonomi daerah.
Isu lainnya soal kedudukan MPR RI, keuangan negara, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, penguatan parlemen daerah, pemisahan konsep pertahanan dan keamanan negara.
Selanjutnya isu tentang pendidikan dan kebudayaan, penguatan yudikatif, restrukturisasi Bab tentang HAM, dan dibentuk Komisi Negara Independen.
"Usulan perubahan konstitusi kali ini tidak lagi parsial, tapi komprehensif. Bulan lalu, DPD merampungkan naskah usul perubahan kelima UUD 1945 yang komprehensif. Pembahasan dan perumusannya bersama 75 perguruan tinggi se-Indonesia, dibantu antara lain para ahli dan tokoh,” kata Fawzi.
Fawzi menambahkan, banyak peran yang seharusnya diemban pemegang amanat rakyat, seperti wakil-wakilnya di DPD. Hanya karena kelemahan dan kekurangan konstitusi menyangkut sistem ketatanegaraan, yang menyulitkan posisi dan peran DPD untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya selama ini.
“Padahal, banyak urusan yang bisa diselenggarakan DPD, baik pimpinan maupun anggotanya, untuk membantu masyarakat dan menyelesaikan persoalannya. Misalnya, entah berapa banyak masukan dan usulan rancangan undang-undang yang tidak berhasil diperjuangkan DPD di DPR menjadi undang-undang,” beber pria kelahiran Pembuang Hulu Seruyan ini.
Fawzi menyatakan, DPD memperjuangkan produk-produk legislasi yang mengarahkan kebijakan pemerintah agar pro-rakyat dan pro-daerah. Persoalannya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menyusun produk-produk legislasi, juga pengawasan dan penganggaran.
“Sebagai hasil reformasi, kelahiran DPD melalui perubahan ketiga UUD 2001, masih memiliki ketidakberdayaan. Betapa pun kegigihan dilakukan DPD, hasilnya perjuangannya tergantung kawan-kawan di kamar sebelah (baca: DPR-red). Mereka lah yang memiliki kekuasaan sepenuhnya,” paparnya.
Artinya, tegas Fawzi, menjadi sia-sia semua produk legislasi, juga pengawasan dan penganggaran, yang dibahas dan dirumus DPD yang sumbernya berasal dari aspirasi dan kepentingan masyarakat seluruh Indonesia.
"Ini membawa akibat DPD sebagai lembaga perwakilan daerah tidak dapat secara optimal mengawal aspirasi daerah dan masyarakat dalam tataran kebijakan di tingkat nasional," jelas mantan Ketua DPRD Kalteng ini.
Mekanisme check and balance, jelas Fawzi, seharusnya juga diterapkan dalam lembaga legislatif, dimana interaksi dan sinergi antar kamar dalam sistem bikameral dapat berjalan konstruktif-simultan.
"Didudukkan dalam konteks saling mengisi, saling mengimbangi, dan saling menjaga antar lembaga perwakilan, sekaligus untuk memperkuat kualitas produk dalam mengartikulasikan aspirasi daerah dan masyarakat," paparnya di depan peserta sosialisasi yang sebagian besar didominasi generasi muda.
Sejak periode I (2004-2009) dan periode II (tahun sidang 2009-2014) DPD telah menghasilkan 22 usul RUU, 112 pandangan dan pendapat, 7 pertimbangan, 64 hasil pengawasan, 34 pertimbangan terkait anggaran, dan 1 usul prolegnas. (DeTAK-rickover)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar