Mengawal Lakon Baru Nazaruddin


DeTAK OPINI EDISI 188
Oleh Dr. Marwan Mas, SH. MH.,

Nazaruddin tengah menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya membawa pulang dari pelariannya di Kolombia menghabiskan biaya Rp4 miliar. Sebuah ongkos yang mahal, yang mestinya juga sebanding hasilnya. Nazaruddin akan memerankan lakon barunya yang sangat krusial. Kalau dalam pelariannya hanya membeberkan tudingannya lewat SMS dan wawancara media, kini ia dituntut untuk membuktikan tudingannya, karena banyak orang menyangsikan kebenarannya.
Lakon baru Nazaruddin, adalah menunjukkan bukti-bukti atas tudingannya bahwa kolega politiknya seperti Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan lainnya ikut menikmati dana proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Nazaruddin tidak boleh gentar karena keterangan kepada penyidik KPK akan dijadikan “fakta hukum” di persidangan. Jangan sampai diintimidasi atau dicuci otaknya dengan janji-janji keringanan hukuman yang membuat tudingannya jadi gelap.
Dalam persidangan pengadilan tindak pidana korupsi atas terdakwa Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris, sebetulnya sebagian tudingan Nazaruddin mulai terkuak kebenarannya. Misalnya, saksi Yulianis mengiyakan tudingan Nazaruddin bahwa anggota DPR Angelina Sondakh dan I Wayan Koster juga menerima dana proyek. Kesaksian ini merupakan “fakta hukum” yang sangat bernilai dari sisi pembuktian. Keterangan saksi Yulianis ini bersesuaian dengan nyayian Nazaruddin selaku tersangka. Bisa disimpulkan, sudah ada dua alat bukti untuk menjerat elit-elit politik yang terlibat menikmati dana proyek APBN secara tidak halal.
Fakta lain yang juga bisa diapresiasi KPK, adalah sikap terdakwa Mindo Rosalina Manulang yang awalnya membantah keterlibatan Partai Demokrat dan tidak mengenal Nazaruddin, seperti dikemukakan Kamaruddin Simanjuntak, pengacaranya kala itu. Tetapi saat ini, Rosalina mulai berubah. Ia membenarkan tuduhan Nazaruddin bahwa Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menerima aliran dana proyek wisma atlet SEA Games Palembang, seperti disampaikan seusai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu 20 Juli 2011 lalu (Media Indonesia, 13/8/2011)

Korupsi politik
Kesaksian Nazaruddin harus dikawal agar tidak membias dan menutupi dugaan keterlibatan elit-elit politik. Nazaruddin harus menjadi peniup peluit (whistle blower) untuk membongkar semua dugaan korupsi politik yang dimainkan politisi nakal di Senayan.        Kalaulah ada orang yang menyebut Nazaruddin "pecundang" sehingga tidak bisa disebut "pahlawan" itu sah-sah saja. Tetapi harus dibuktikan di depan sidang pengadilan yang terbuka dan berkeadilan.
Kotak pandora dugaan korupsi politik terhadap dana APBN yang selama ini dimainkan politisi nakal saat menyusun anggaran, harus dibuka terang benderang. Jangan sampai membias arahnya dan hilang begitu saja seperti kasus Bank Century dan mafia pajak yang tidak pernah terselesaikan. Nazaruddin tidak boleh dibungkam, harus diberi jaminan untuk tidak diintimidasi secara fisik dan psikhis dalam pemeriksaan.
Fenomena Nazaruddin dengan berbagai kejutannya, perlu dijadikan momentum untuk membongkar semua dugaan korupsi politik, baik yang dilakukan secara sendiri oleh politisi maupun digunakan untuk kepentingan partai. Paling tidak, dijadikan pintu masuk untuk mengendus proses pemilihan ketua umum partai, kepala daerah, dan rekruitmen calon anggota legislatif yang sarat dengan politik uang.
Berbagai alasan yang sering disuarakan elit politik, bahwa pemberian dana transfortasi dan akomodasi dalam setiap pertemuan dan pemilihan ketua umum partai, adalah alasan klasik berbaju suap atau politik uang. Ini tidak boleh terus dibiasakan, karena.pasti ada maunyai dan di dalamnya ada janji-janji. Tidak ada yang gratis sekarang, semuanya harus dengan uang, terlebih dalam memperoleh jabatan publik.
Mekanisme pembiayaan partai politik harus dikaji ulang, karena dari sinilah awal tumbuhnya bibit untuk melakukan korupsi secara besar-besaran jika terpilih untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan. Partai politik tidak boleh menjadi lumbung korupsi, atau tempat berlindung bagi para koruptor. Jika hal ini terus dibiarkan, negeri ini akan terus menjadi sorga bagi para koruptor.    

Perlindungan hukum
Pemeriksaan Nazaruddin perlu perlidungan hukum, baik oleh pengacaranya maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Keterlibatan LPSK bisa menjadi garansi bagi Nazaruddin untuk tidak ragu memberikan keterangan seperti sebelumnya. Jangan sampai sama dengan Susno Duadji, meski memohon perlidungan LPSK, tetapi tidak dipenuhi akibat terbelenggu prosedur formal di kepolisian.
Berdasarkan Pasal 41 Ayat (2) huruf-a UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Nazaruddin adalah “pemberi informasi” adanya dugaan telah terjadi korupsi. Artinya, Nazaruddin juga saksi (pelapor) sekaligus yang bekerja sama (justice collaborator) seperti diatur dalam UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk kepentingan pembuktian, Nazaruddin berhak mendapat perlindungan fisik, psikis, dan hukum.
Penegakan hukum selama ini sering membuat kita terhenyak, aparat hukum bisa seenak perut membelenggu sesuatu yang seharusnya terang tetapi digelapkan. Begitu pula sebaliknya, perkara yang “gelap” karena tidak ada alat buktinya, disulap jadi “terang” yang sering disebut “kriminalisasi”. Bergantung pada siapa yang memesan, apakah dipesan oleh yang berkuasa atau pemilik uang yang ternyata juga diperoleh dari hasil korupsi.
Proses hukum di KPK tidak selalu bebas nilai. Apalagi kondisi dua pimpinan dan pegawainya yang disebut-sebut Nazaruddin pernah menemuinya terkait kasus yang sedang diselidiki, bisa menghambat kepercayaan publik. Publik meragukan objektivitas keempat nama itu (Chandra Hamzah, M Jasin, Ade Rahardja, dan Johan Budi) jika turut terlibat dalam proses hukum. Sebaiknya Nazaruddin diperiksa duluan oleh Komite Etik KPK sebelum diperiksa penyidik, untuk mencegah benturan kepentingan. Bisa saja Nazaruddin dibungkam dengan iming-iming akan diringankan hukumannya. Inilah yang perlu dikawal.
Makassar, 13 Agustus 2011
 Penulis adalah Dosen Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar.