COVER DeTAK EDISI 172

Tumpang Tindih Peraturan Kawasan Hutan Kalteng

DeTAK OPINI EDISI 172

Oleh : E. Dolok Martimbang

Iklim investasi di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) terlihat berjalan sangat lambat. Hal tersebut terindikasi adanya tumpang tindih serta ketidak harmonisan aturan perundang-undangan. Provinsi Kalteng tercatat sebagai salah satu pemilik hutan terluas di Indonesia, dengan luas kawasan hutan mencapai 10,3 juta hektar berdasarkan Perda Nomor 8/2003 tentang RTRWP Kalteng. Namun, provinsi yang memiliki luas keseluruhan hampir seluas Pulau Jawa ini tercatat sebagai salah satu dari 2 provinsi di Indonesia yang kawasan hutannya tidak pernah diakui Departemen Kehutanan. Salah satu penyebab utama tidak diakuinya kawasan hutan tersebut adalah begitu banyaknya persoalan dan alih fungsi hutan di Kalteng selama beberapa tahun terakhir.
Pembangunan perkebunan sawit di anggap dapat menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber pendapatan daerah yang besar dan dapat menyerap tenaga kerja.
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 disebutkan bahwa titik berat dan skala prioritas rencana pemerintah daerah untuk lima tahun berikutnya adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan globalisasi ekonomi”. Hal tersebut dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan dan kehutanan, industri dan perdagangan, pertambangan dan sektor pariwisata yang di dukung oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai. Dengan mengembangkan sektor-sektor tersebut, diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang akan dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan publik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian Pemerintah Provinsi Kalteng adalah sektor perkebunan. Seperti diberitakan di berbagai media dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan perkebunan sawit di Kalteng mengalami perkembangan yang pesat. Dari data tahun 2004, tercatat 75 perusahaan perkebunan sawit yang mengajukan dan yang diberikan izin sudah mengkonversi lahan tidak kurang dari 750 ribu hektar. Pemerintah Provinsi Kalteng akan membangun perkebunan sawit sejuta hektar dengan memanfaatkan lahan yang tersedia sekarang 1,7 juta hektar. Perkebunan sawit tersebut dibangun di Kobar dengan luas 300 ribu hektar, di Kotim dan Seruyan dengan luas 400 ribu hektar, serta 300 ribu hektar di Barito dan Kapuas.
Secara umum kita ketahui bahwa dengan dihentikannya semua kegiatan non kehutanan dalam kawasan hutan di wilayah Kalteng, pada saat ini oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan pengaruh besar dalam penyelenggaraan pembangunan regional maupun nasional, dan sudah barang tentu sangat berpengaruh pada perkembangan iklim investasi nasional. Sudah semestinya pemerintah memperhatikan azas legalitas atau konstitusional yang menetapkan Negara Republik Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Terbitnya UU No.32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, dalam hal ini kewenangan daerah menjadi semakin besar dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan” diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Nah, Kalteng merupakan provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan, pemerintah (khususnya departemen kehutanan) dalam perencanaan kehutanan menetapkan bahwa Kalteng masuk dalam kawasan kehutanan. Disini terdapat perbedaan yang sangat besar dalam penentuan suatu kawasan hutan. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat menentukan bahwa Kalteng masuk dalam Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/UM/10/1982. Tetapi dalam hal lain, Pemerintah Provinsi Kalteng menerbitkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah yang menetapkan tidak semua wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan APL.
Menilik hal tersebut, terjadi tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena TGHK tidak mempunyai payung hukum. Sedangkan RTRWP Kalimantan Tengah dengan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP pembentukannya didasarkan pada ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Jadi dalam hal ini ketentuan mana yang harus dipakai bagi penanam modal atau investor untuk dijadikan suatu acuan.
Disamping itu, dalam ketentuan Pasal 14 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing pointnya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan tersebut hutan atau tidak maka prosesnya harus memenuhi unsur dari pasal 14 ayat 2 tersebut. Dan jika tidak memenuhi unsur tersebut maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal demi hukum.
Selanjutnya berdasar pada Pasal 15 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP No.44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jadi sangat jelas bahwa Perda No. 8 Tahun 2003 tetap dapat dijadikan acuan untuk penentuan suatu kawasan hutan atau bukan hutan.
Jadi dalam hal ini terjadi tumpang tindih dan ketidakharmonisan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penentuan kepastian kawasan hutan yang mempersulit investor atau masyarakat setempat untuk mengembangkan daerahnya. Dalam ketentuan pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sangat jelas bahwa Keputusan Menteri tidak masuk dalam kerangka ketentuan perundang-undangan. Jadi yang menjadi pertanyaan dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut, apakah Keputusan Menteri merupakan Regelling atau Beschikking ?.
Beschikking merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dibidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa, bersifat nyata, individual, selesai sekali (final, einmalig), tidak mengikat umum. Beschikking meliputi surat keputusan, ketetapan dan Keputusan tata Usaha Negara. Peraturan daerah hanya dapat dibatalkan oleh peraturan presiden dan bukan berarti pula suatu Keputusan Menteri secara hirarki lebih tinggi dari suatu perda dan bukan berarti pula suatu Keputusan Menteri dapat membatalkan Perda. Karena jika mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah maka hanya terdapat tiga tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
Jadi sangat jelas siapa yang berwenang menerbitkan Regelling, yakni 3 (tiga) tingkatan pemerintahan tersebut di atas. Di Provinsi Kalimantan Tengah, Perda No. 8 Tahun 2003 telah ditetapkan, Untuk itu selama ketentuan tentang RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah belum disetujui oleh DPR maka Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP tetap berlaku selama belum dicabut oleh PERPRES dan Perda tersebut dapat dijadikan dasar untuk kepastian hukum bagi penanaman modal atau investasi dibidang perkebunan.
Terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antar Lembaga Negara membuat kebingungan, untuk itu diperlukan pembaharuan hukum antar Lembaga Negara agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan-peraturan tersebut. Selain itu terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antara kehutanan, pertanahan, dan pertambangan membuat iklim investasi tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kebingungan bagi investor.

Penulis adalah seorang editor dan praktisi media di Palangka Raya

Bila Boleh........

DeTAK HATI EDISI 172

Oleh : Syaifudin HM

Makanan yang baru selesai disantap, seakan-akan cepat sekali turun dan membuat perut ini terasa lapar kembali. Mengapa demikian? Karena seusai makan siang di kawasan daerah Timpah, kabupaten Kapuas, mobil Kijang Innova yang ditumpangi kembali meneruskan perjalanan menuju kota Buntok, Kabupaten Barito Selatan dan seterusnya menuju kota Muara Teweh, kabupaten Barito Utara. Keesokan harinya, kami kembali menuju Palangka Raya dengan melintasi ruas jalan yang dilewati sehari sebelumnya. Ketika dalam perjalanan, hati ini selalu bertanya-tanya, mengapa ruas jalan yang dilewati selalu banyak titik-titik rusak, bahkan ada yang bisa mengakibatkan mobil amblas dan tertahan di tempat itu. Menurut pengakuan para sopir, bahwa titik-titik jalan yang rusak itu sudah lama terjadi demikian bahkan ada yang sudah hampir dua tahun, tetapi masih belum juga ada perbaikan. Jika kita melakukan perjalanan dari Palangka Raya – Buntok – Muara Teweh, maka ratusan titik jalan rusak akan ditemui. Bahkan pada titik-titik tertentu yang sangat parah kerusakannya, dijaga oleh warga untuk memberikan pertolongan dengan imbalan uang. Dari sejumlah informasi yang diterima, bahwa sepanjang ruas jalan yang dilewat itu berstatus jalan provinsi, artinya yang berkewajiban memperbaikinya adalah pihak instansi terkait pada tingkat provinsi Kalteng. Nah, jika kita memperhatikan titik-titik kerusakannya, sebenarnya sedikit sekali bahkan ada yang cuma sepanjang tiga atau empat meter saja, lalu ada lobang yang menganga sekitar satu meter, dan berbagai bentuk kerusakan lainnya, ya ...kalau dilihat secara nyata, ditimbun tanah dua atau tiga truk saja.. sudah beres. Tetapi, kenapa kerusakan yang hanya beberapa meter itu bisa bertahun-tahun mengganggu kelancaran para pemakai jalan..? Pertanyaan seperti itulah yang selalu muncul dalam hati ini ketika melakukan perjalanan Palangka Raya - Buntok – Muara Teweh (pp), pekan lalu. Adalagi contoh lain, puluhan kilometer ruas jalan yang dilewati mulus dengan aspal, tetapi perjalanan bisa terhenti hanya karena ada lobang yang menganga sekitar satu meter lebarnya, tetapi posisinya membuat mobil atau truk sulit melewatinya. Lalu, mengapa lobang itu tidak segera ditimbun, jika dikerjakan paling lama memakan waktu selama dua hari atau tiga hari saja. Sebagai masyarakat biasa tentu selalu menjadi pertanyaan tentang kondisi ruas jalan yang selalu rusak dengan waktu bertahun-tahun, karena yang namanya masyarakat biasa tidak mau tahu apakah itu jalan provinsi, jalan kabupaten ataukah jalan negara, yang terpenting bagaimana caranya agar ruas jalan yang rusak itu segera diperbaiki oleh dinas yang terkait. Dari sejumlah informasi yang terhimpun, bahwa lamanya kerusakan titik-titik jalan yang terjadi itu, diakibatkan tidak ada anggaran biaya untuk memperbaikinya. Nah, jika hal itu yang menjadi persoalannya, mungkin bisa saja pihak dinas terkait menyediakan dana yang cukup besar untuk memperbaiki titik-titik jalan yang rusak tersebut setiap tahun. Kapan perlu, jumlahnya mencapai 50 persen dari anggaran pembangunan jalan yang tersedia. Rasanya, menjadi percuma membangun jalan dengan aspal mulus pada ruas baru yang panjangnya ratusan kilometer, sementara ruas jalan yang sudah lama dibiarkan rusak bertahun-tahun. Lebih baik, membangun jalan baru yang mulus dengan ruas yang pendek saja, tetapi jalan yang lama tetap mulus aspalnya. Hal ini bisa dilakukan, bila memang boleh dilakukan dan tentunya tidak melanggar ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang sudah ada. Semoga.

Soal RTRWP, Kalteng Lakukan Tekanan

DeTAK UTAMA EDISI 172

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalteng) hingga saat ini tak jelas juntrungannya.

Pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI dalam hal ini Komisi VI tak terlihat tanda-tanda mau mengesahkan RTRWP itu.
Nampaknya persoalan persentase angka menjadi pemicu gap antara Komisi VI dan Menteri Kehutanan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng.
Pemprov berpijak pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2008, sedangkan Tim Terpadu bentukan Pusat lain lagi. Seperti yang dilansir ATN Center, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang mengakui, antara Perda Nomor 8 Tahun 2003 dengan rekomendasi Tim Terpadu yang dibentuk Pusat, terdapat perbedaan.
Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2003, luas kawasan hutan ditetapkan 67 persen dan kawasan non hutan 33 persen. Sementara dalam rekomendasi Tim Terpadu, 80 persen lebih untuk kawasan hutan dan untuk non hutan 18 persen lebih.
Tapi, ada yang aneh dengan Komisi VI itu. Berulang kali mengunjungi Kalteng dengan alasan ingin melihat langsung kondisi kawasan yang masuk RTRWP.
Berulang kali pula meminta data-data pelengkap dari Pemprov. Karena tak ada kepastian, tak salah jika dalam beberapa kali pertemuan dengan Komisi VI terkadang menyembul sentilan Komisi VI hanya 'jalan-jalan' di Kalteng. Hasil tinjauannya nihil.
Alasannya pun beraneka ragam. Terakhir, sebagaimana yang diucapkan Ketua Komisi VI Akhmad Muqowam sewaktu menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) VI Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalteng di Boutique Aquarius Hotel, Sabtu Maret lalu.
Setidaknya, kata Muqowam, ada dua soal yang mengganjal mulusnya pengesahan RTRWP Kalteng. Pertama, soal dua juta hektar lahan yang masih menjadi masalah. Kedua, menunggu selesainya peta tata ruang nasional kawasan hutan.
Menyangkut keberadaan Perda Nomor 8 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan Kalteng, HSA Fawzy Z Bachsin mengatakan, tekanan itu merupakan sesuatu yang wajar, karena terlalu lambannya sikap pihak pusat dalam penyelesaian RTRWP.
"Ini merupakan salah satu move guna mendesak pemerintah pusat segera menyelesaikan rencana tata ruang yang sudah diusulkan pemerintah Kalteng selama ini," nilai Fawzy.
Sama halnya dengan Ekonom Universitas Palangka Raya (UNPAR) Danes Jaya Negara. Ia melihat kesepakatan sebagai langkah yang sangat beralasan. "Jadi, apabila kepala daerah tidak mengacu pada RTRWP tahun 2003, maka akan kesulitan bagi daerah dalam rangka mengatur tata ruangnya," jelasnya.
Namun aktivis lingkungan Arie Rompas tak mau kompromi. Ia ngotot menyebut kesepakatan itu sebagai pembangkangan kepada pemerintah pusat.
"Perda No 13 tahun 2003 menjadi ilegal karena dasar hukumnya tidak jelas. Sebenarnya juga belum terdaftar di Departemen Dalam Negeri,” tutur Rio. Namun anggota Komisi A DPRD Kalteng H Imam Mardhani menegaskan, pembuatan Perda memang merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi. Tapi, dalam proses pembuatan perda tidaklah berdasarkan pada satu item undang-ungang saja.
“Proses pembuatan perda itu biasanya tidak hanya dengan satu landasan hukum saja,” jelasnya. (DeTAK-indra marbun/rickover)

Selengkapnya Baca Tabloid DeTAK Edisi 172

Kawasan Transmigrasi Hyangbana Sedot Rp 12 Miliar

Katingan-Rabu kemarin, Bupati Katingan Duwel Rawing meresmikan kawasan Transmigrasi Desa Hyangbana di Kecamatan Tasik Payawan, Kabupaten Katingan. 

MENARI-Bupati Katingan Duwel Rawing dan Kapolres
Katingan menari Manasai pada acara Marajang atau
selamatan
atas pembukaan kawasan Transmigrasi di
Desa Hyangbana,
Kamis (20/4) pekan lalu. Foto: Aris
Disitu ada 200 Kepala Keluarga (KK) yang bakal menjadi penduduk di desa itu. Bupati meminta, warga setempat bisa bersosialisasi dengan para transmigrasi.
"Yang datang nanti bukan saja dari warga kita di Kabupaten Katingan, tapi separuhnya datang dari luar daerah. Misalnya, 25 KK dari Jateng, 25 KK dari Lampung, 25 KK dari banten, dan 25 KK dari Jogya. Sedangkan, warga kita 100 KK," kata Bupati.
Kini 200 unit perumahan sementara dibangun. Dinas Pekerjaan Umum setempat juga akan meningkatkan jalan sekitar 6 km dari Kota Kasongan menuju desa tersebut. Dananya sudah dianggarkan dari APBD 2011. Disusul pembuatan saluran irigasi agar lahan nantinya terhidar dari endapan air.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Provinsi Kalteng, Hendri MS menmabahkan, kawasan transmigrasi Desa Hyangbana sebenarnya sudah diusulkan sejak 7 tahun lalu, yakni sejak 2004 lalu, namun baru dikabulkan 2011 ini. “Harus melalui berbagai proses yang panjang. Diantaranya, harus melalui survei di lapangan dan berbagai proses lainnya,” kata Hendri. Jumlah dana yang dikucurkan untuk pembukaan kawasan transmigrasi sekaligus untuk bangunan 200 unit perumahannya keseluruhan, lanjut Hendri, berjumlah sekitar Rp 12 miliar lebih yang berasal dariAPBN 2011.
Sehubungan dengan kontrak yang sudah disepakati soal pembukaan kawasan transmigrasi itu, Hendri berharap Dinas Sosnakertrans Katingan tepat waktu dalam pelaksanaannya.
"Jangan sampai ada keterlambatan. Jika tidak bisa rampung sesuai dengan kontrak, maka ada kemungkinan dananya akan dikembalikan ke pusat," katanya mengingatkan.
Sebelumnya peresmian dilaksanakan acara selamatan Adat Dayak menyanggar dengan menyediakan 1 ekor sapi, 1 ekor babi, dan 3 ekor ayam. Diselengi juga dengan tarian Manasai dari warga setempat.
Bupati berserta Kapolres Katingan, Perwira Penghubung, Camat Tasik Payawan, dan beberapa Kepala Desa se-Kecamatan Tasik Payawan ikut menari. (DeTAK-aris)

Ikan Raksasa Terdampar Dipesisir Pantai

DeTAK PERISTIWA EDISI 172

IKAN RAKSASA-Seorang nelayan duduk diatas ikan raksasa
jenis Selayar kepala bersumpit, ketika terdampar ditepian pantai
sekitar Dusun Kalap Seban, Desa Ujung Pandaran,Kecamatan
Teluk Sampit, Kotim (Kamis 14/4) Foto: Umar
Siang itu, suasana pantai hanya terdengar desiran angin dan derunya ombak yang mengulung tepian. Keheningan sontak menjadi gaduh ketika ditemukannya ikan berbentuk raksasa oleh nelayan Dusun Kalap Seban, Desa Ujung Pandaran, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kamis pekan lalu.
Peristiwa itu menggegerkan warga sekitar, lantaran adanya seekor ikan raksasa yang mengambang di perairan mereka. Tepatnya, di sekitar Pantai Dusun Kalap Seban.
Ikan tersebut diketahui jenis Selayar dengan panjang sekitar tiga meter lebih. Berat sekitar tiga ratus kilogram (tiga pikul-red.)
Saat ditemukan kondisi ikan dalam keadaan lemas. Rupanya ikan tersebut sudah lama terperangkap di perairan dangkal dan terdampar, sehingga membuatnya sulit bernapas. Sedangkan tubuhnya menjadi kembung lantaran banyaknya menghirup udara masuk udara.
Informasi dari para nelayan menyebutkan,ikan berbobot raksasa tersebut sedang mencari makan di daerah pesisir pada saat air pasang. Karena banyak makanan berupa ikan-ikan teri kecil sekitar pantai.
Ikan raksasa itu lantas mengejar ikan teri hingga terperangkap ke gosong pantai. Bersamaan surutnya air laut, ikan tersebut terdampar.
Sekretarid Desa Ujung Pandaran, Aswin mengatakan, siang itu para nelayan bersiap pulang dari melaut, tapi dari kejauhan mereka melihat keanehan yang bergerak-gerak di atas permukaan di tepian pantai dengan air menyembur ke permukaan.
"Para nelayan pun mendekati asal air yang menyembur keatas itu. Setiba di pinggir pantai, para nelayan kaget, ternyata ikan sangat besarnya sedang terperangkap,” ujarnya.
Nelayan, lanjut Aswin, sempat berupaya menggeser ikan raksasa itu untuk menyelamatkannya ke tengah laut. Namun apa daya, lantaran terdampar diatas pasir, serta surutnya air laut, ditambah berat ikan yang berlebihan, warga tidak bisa menggeser hingga dibiarkan saja.Karena bobotnya sangat berat, ikan berukuran raksasa itu lantas dibiarkan terdampar, sehingga kondisi ikan sudah tidak kuat lagi untuk berenang karena terlalu lama diatas dasar pantai.
"Inisiatif warga, ikan dibawa kedaratan dan digarih. Katanya ikan itu jenis Selayar, bisa dikonsumsi, makanya ikan raksasa itu langsung dipotong-potong warga,” terangnya.
Tokoh masyarakat Ujung Pandaran, H Faujan menambahkan, sejak ditemukan oleh nelayan ikan raksasa tersebut sangat kelelahan dan tidak bisa lagi berenang. Ikan lalu dipotong-potong dan dijual kepada mereka yang mau beli.
“Memang warga sana sempat geger dengan penemuan ikan itu. Tapi ketika saya melihat kesana, ikan sudah mereka potong-potong,” tutur Faujan.
Sementara, Suriansyah atau Tuwi, warga Samuda dari komunitas penghobi pancing di laut lepas mengatakan, setelah ditemukannya ikan raksasa itu semakin menambah motivasi kelompok-kelompok pemancing.
"Ikan dilaut masih besarnya seperti itu. Artinya, keadaan daerah pantai di laut Kotim masih baik dan potensialbagi para nelayan-nelayan. Bobot ikan sebesar itu memberikan motivasi kepada kami sebagai komunitas para pemancing. Ikan sebesar itu memberikan apresiasi dan sensasi yang luar biasa kepada kami,” ucap ayah dua anak ini.(DeTAK-umar)

DeTAK HIBURAN EDISI 172