DeTAK EDISI 137
|
Simpun Sampurna |
JAKARTA, DeTAK-Kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Tengah, secara umum sampai saat ini terus menghadapi beragam persoalan. Terutama, ketidakadilan sosial ekonomi akibat agresi pembangunan di atas tanah, wilayah dan kawasan hutan yang telah lama menjadi sumbar penghasilan masyarakat adat.
Demikian diutarakan Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Simpun Sampurna ketika dibincangi DeTAK disela acara Festival Museum Nusantara TMII 2010 di Jakarta. Dalam rangka memperingati hari masyarakat adat se-dunia, yang jatuh setiap tanggal 9 Agustus.
Dikataka Simpun, di sejumlah wilayah Kalteng masih saja terjadi penyerobotan lahan oleh industri ekstaktif terhadap wilayah kelola masyarakat adat. Seperti, perkebunan kelapa sawit yang semakin masif, kegiatan pertambangan dan HPH. Dimana industri itu selain berdampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat adat, berdampak ekologi, juga memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim melalui peningkatan emisi karbon.
Oleh karenanya, ditegaskan Simpun, AMAN Kalteng merespon aneka persoalan tersebut, yang dinilainya sebagai kondisi yang tidak memihak serta bertentangan dengan hak-hak masyarakat adat . “Untuk itu dalam peringatan masyarakat adat sedunia ini, AMAN Kalteng menyerukan sejumlah pernyataan sikap,” ucapnya.
Pernyataan sikap dimaksud mencakup beberapa hal mendasar, antara lain disebutkan pertama, mengingatkan dan mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat adat yang dikenal dengan UNDRIP (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous Peoples) dalam kebijakan nasional, berikut mempercepat RUU Masyarakat Adat yang sekarang ini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas).
Kemudian, disebutkan AMAN Kalteng menuntut adanya revisi terhadap UU No 41/ 1999 tentang Kehutanan, agar diatur pemisahan antara hutan Negara dan hutan adat. Kedua, Meminta pemerintah kabupaten/kota agar tidak menerbitkan ijin konsesi untuk kepentingan investasi di wilayah adat, sebelum adanya persetujuan masyarakat adat setempat.
Hal itu diharapkan, agar terwujud implementasi positif bagi masyarakat adat. Khususnya dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng No 16 tahun 2008 tentang Kelembangaan Adat, serta Peraturan Gubernur (Pergub) No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Diatasnya. Ketiga, Dalam menyikapi issu perubahan iklim, pengurangan emisi karbon dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD) yang tengah melanda Kalteng. AMAN menyerukan harus ada persetujuan masyarakat adat, bilamana proyek itu dilaksanakan. Dengan melibatkan masyarakat adat secara penuh baik dalam perencanaan dan pelaksanaan. Sikap AMAN sangat jelas yakni “ No Right No REDD,”
Keempat, Mendesak Pemkab Barito Timur menyelesaikan konflik komunitas Desa Sarapat, kecamatan Dusun Timur dengan PT. Sawit Graha Manunggal (SGM). Serta meninjau ulang pemberian ijin konsesi perkebunan sawit PT.SGM, yang disinyalir telah menjarah wilayah kelola masyarakat adat Desa Sarapat. Hingga mengakibatkan hilangnya berbagai situs penting serta keanekaragaman hayati di dalam hutan adat.
Kelima, AMAN Kalteng mengumumkan telah terbentuk kesatuan masyarakat adat se-Boneo yang tergabung dalam Borneo Indegenous Peoples Alliance (BIPA). ”Kesatuan ini lebih sebagai wadah kerjasama bagi penyusunan program, guna menjawab persoalan-persoalan masyarakat adat se-Borneo. Demi membangun kedaulatan dan kehidupan masyarakat adat yang lebih baik,” jelas Simpun. (DeTAK – agus irawanto)