DeTAK UTAMA EDISI 143
|
foto illustrasi : DeTAK/OSTEN |
Koes Plus, grup band legendaris menyanyikan lagu tentang negeri Indonesia sebagai negeri kolam susu, negeri surga, dimana tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Sayangnya, negeri impian Koes Plus itu sudah tidak ada lagi, pemerintahnya kini terlilit utang dan rakyatnya pun terjerat dalam kemiskinan secara struktural.
Konsekwensi dari kemiskinan yang berkepanjangan ini kian menumpulkan kecerdasan dan terjerembab dalam lingkaran keyakinan mistik, fatalisme, dan jalan pintas menjadi idola. Sebaliknya kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena secara faktual di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Banyak diantara mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, keberuntungan tidak berpihak padanya. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite yang dekat dengan para pejabat, penguasa, dan birokrat.
Dampak dari itu semua, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual mengalami degradasi karena hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, mereka lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan mengadu nasib dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana.
Mereka mengidolakan jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan instan, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.
Ditengah fakta ironis semacam itu, wajar saja KPK pernah menggulirkan wacana pendidikan anti korupsi. Pendidikan anti korupsi didasarkan pertimbangan bahwa pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara integratif dan simultan.
Karena itulah, pendidikan anti korupsi harus didukung dan jangan sampai timbul keawaman terhadap korupsi dan perilaku koruptif.
Sesungguhnya tanpa dimintapun sudah sepatutnya dunia pendidikan menyentuh persoalan-persoalan riil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, karena memang sudah menjadi domainnya.
Ketika perilaku korupsi sudah menjadi gaya hidup di berbagai lini kehidupan masyarakat, para siswa penerima tongkat estafet penentu masa depan negeri ini, seharusnya diperkenalkan dengan masalah-masalah korupsi untuk selanjutnya diajak bersama-sama memberikan sebuah pencitraan bahwa korupsi harus di musnahkan bersama.
Para siswa perlu tahu betapa berbahayanya perilaku koprusi itu sehingga mereka diharapkan memiliki filter untuk tidak tergiur melakukan tindakan korup.
Pertanyaanya sekarang, perlukah pendidikan anti korupsi dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran tersendiri atau diintegrasikan dalam mata pelajaran tertentu?
"Kurikulum harus diterapkan secara massif dan pemerintah harus betul-betul peduli,” kata Deputi Pencegahan KPK Eko Soesamto Tjiptadi di kantornya, Selasa. Menurut Eko, pendidikan antikorupsi hasilnya baru akan dituai di masa depan.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh usai bertemu dengan Pelaksana tugas Ketua KPK, Haryono Umar di KPK, Senin (6/9) mengatakan, upaya pencegahan korupsi tak kalah penting dengan pemberantasan korupsi.
"Kami ke KPK untuk menyiapkan program pendidikan anti korupsi sebagai bagian dari pendidikan karakter. Insya Allah nanti akan dimulai Juli 2011," ujar M Nuh.
Ketua Umum Gerakan Pendidikan Anti Korupsi (Gepak) Thariq Mahmud berpendapat, penyelenggaraan program pendidikan anti korupsi kepada para siswa di sekolah bisa menjadi salah satu jawaban untuk melawan praktik korupsi melalui sarana pendidikan sedini mungkin.
"Pendidikan antikorupsi ini merupakan proyek jangka panjang menuju pembentukan Indonesia baru. Program pendidikan anti korupsi yang dilakukan di sekolah-sekolah harus dilakukan secara bersama dan konsisten," ujarnya.
Masyarakat pun beragam pandangan tentang rencana KPK itu. Kemal, mahasiswa Universitas Palangka Raya (UNPAR) berpendapat, sebuah usaha yang bagus sehingga perlu diapresiasi. “Kita perlu mengapresiasikan usaha KPK tersebut dalam menanamkan pemahaman anti korupsi sejak dini” ujarnya.
Ahmed lain lagi. Ia dengan tegas menilai tidak akan efektif. Meskipun begitu ia tetap menghargai usaha dari KPK. ”Sebagai sebuah usaha layak dicoba” ujarnya.
Sedangkan Ciptadi melihat usaha yang dilakukan KPK cukup baik, akan tetapi kalau kurikulum yang diberikan itu terkait perilaku, sebenarnya sudah ada mata pelajaran PPKN.
Lantas bagaimana tanggapan dari kalangan akademisi, DPRD dan pihak Kejaksaan? “Kalau itu disebut sebagai mata kuliah, kan secara teori praktis juga dipelajari," tanggap Ketua Sekilah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Tambun Bungai Palangka Raya itu. Pernyataan Mendiknas tentang kurikulum pendidikan antikorupsi nantinya tidak akan berbentuk mata pelajaran tertentu, melainkan dimasukkan dalam silabus seluruh mata pelajaran terkait, ditanggapi Dekie sebagai sesuatu tidak relevan.
Kejaksaan Tinggi Kalteng sebaliknya. Mereka menyambut baik program KPK menggiatkan pendidikan antikorupsi di sekolah. "Sebenarnya pembekalan tentang pencegahan antikorupsi tidak memandang usia, karena barang siapa yang melakukan tindakan korupsi ada kaitannya dengan subyek hukum," jelas Prayitno.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Kalteng RYM Soebandi optimis rencana KPK anak didik nantinya akan lebih memahami bahwa tindakan korupsi itu dapat menghancurkan suatu bangsa. Ketua Fraksi Partai Demokrat ini menilai, modul dan kurikulum ini nantinya merupakan suatu terapi bagi anak didik di sekolah atau generasi selanjutnya.
Bahasan kali ini juga menghadirkan opini dari Mendra Wijaya, seorang Social Transformator bergelar S3 Universitas Satyagaman, Jakarta. Opininya berjudul asli ”Menggagas Pendidikan Anti Korupsi”. Yang ditampilkan disesuaikan dengan kebutuhan pembahasan, sehingga judulnya berubah menjadi ”Kapan Akan Berakhir”..(DeTAK-rickover/indra/yusy)
Berita Selengkapnya baca di TABLOID DeTAK EDISI 143