DeTAK UTAMA EDISI 195
Senin 19 September 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan ketentuan pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.
Ketentuan pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat mengganggu jalannya aktivitas perkebunan. Namun demikian, rumusan norma dalam pasal 21 terlalu luas dan tidak rigit, sehingga mudah disalahgunakan dalam implementasinya, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hukum MK.
Selain itu, ketentuan pasal 21 ini juga dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan. Karenanya MK menyatakan ketentuan pasal tersebut adalah inkonstitusional, dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap HAM dan keberadaan masyarakat adat merupakan pengakuan eksistensialis, sehingga HAM, dan keragaman,keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara.
Penegasan ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum putusan MK, yang menjelaskan bahwa masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik, yang biasanya menimpa masyarakat adat atau petani sangat lah beragam, sehingga penyelesaiannya pun harus menggunakan pendekatan yang beragam pula, disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda.
Kepekaan sikap MK dalam putusannya patut diapresiasi, karena berhasil melihat kenyataan konflik Perkebunan. Mahkamah menyatakan, kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat, dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara, berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Hal ini merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Kemudian, ketidakpastian hukum ini diikuti adanya ancaman hukuman berlebihan yang diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkebunan.
Dengan adanya putusan MK itu, masyarakat lokal dan masyarakat adat di seluruh Indonesia tak lagi perlu takut dan merasa was-was dalam memperjuangkan hak asasinya, yang selama ini dilanggar perusahaan perkebunan besar melalui legalitas dan dukungan aparat negara.
Tepatnya, pasal 21 intinya melarang orang mengganggu usaha perkebunan, sedangkan pasal 47 menentukan pelanggar pasal 21 diancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Gugatan ke MK ini dilakukan empat petani dengan menyampaikan permohonan pengujian atas UU Perkebunan terhadap UUD 1945 yang diajukan melalui "Public Interest Lawyer Network" pada Agustus 2010.
Ke empat petani dimaksud, yakni Japin (39), warga Dusun Silat Hulu, Desa Bantan Sari, Kecamatan Marau, Kabupaten ketapang, Kalimantan Barat. Kemudian Vitalis Andi (30), warga Desa Mahawa, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang; Sakri (41), warga Dusun Soso, Desa Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Ngatimin alias Keling (49), warga Dusun III Suka Rakyat, Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. (DeTAK-rickover)
Kerap Terjadi Multitafsir
Pencabutan pasal 21 dan 47 UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan oleh MK mendapat apresiasi dari anggota DPD RI Hj Permana Sari. Ia mengatakan, pihaknya sangat puas dengan dicabutnya kedua pasal itu.
"Dalam undang-undang tersebut, definisi tentang perkebunan tidak jelas. Apakah hanya perkebunan besar yang wajib memiliki izin lengkap, atau kah termasuk perkebunan milik masyarakat yang berada dalam wilayah tanah adat atau ulayat," jelas Permana.
Belum lagi, kedua pasal tersebut mengakibatkan munculnya multitafsir apabila terjadi sengketa antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan.
"Masyarakat pada dasarnya sangat sulit memperjuangkan hak-haknya bila disamakan dengan perkebunan besar yang notabene memiliki modal besar. Jadi, pencabutan itu juga bertujuan untuk menghindari multitafsir," tegas Permana.
Pencabutan, pandang Permana, akan cukup baik untuk melindungi dunia usaha, khususnya perkebunan. Hanya saja, masih perlu kejelasan status soal perkebunan milik masyarakat yang sudah diusahakan bertahun-tahun secara turun temurun.
"Dalam hal ini, apakah masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan perusahaan perkebunan besar. Tentunya, diharapkan ada hal-hal yang dapat membantu meringankan beban para petani pemilik perkebunan rakyat itu," jelasnya.
Ke depan, dia mengharapkan ada upaya nyata dari pemerintah untuk melindungi semua usaha perkebunan, termasuk perkebunan milik rakyat yang berada dalam lingkup tanah adat atau ulayat.
“Undang-undang tentang hak-hak masyarakat adat diharapkan segera terealisasi. Artinya, hak masyarakat adat terlindungi dan dapat berusaha dengan aman,” kata Permana Sari. (DeTAK-indra marbun)
Hanya Menguntungkan Pengusaha
Dicabutnya pasal 21 dan 47 ayat 1 dan 2 UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, menjadi pembelajaran bahwa tidak semua peraturan memenuhi rasa keadilan. Malah kerap kali justru memberangus hak-hak konstitusional seorang warga negara.
“Tidak sedikit yang sudah menjadi korban dari UU Nomor 18 ini. Bayangkan, sejak 2004 sampai 2011 dapat dipastikan sekian orang sudah masuk penjara akibat dijerat dengan pasal itu,” kata Direktur Save Our Borneo (SOB) Kalteng Nordin, saat ditemui di ruang kerjanya.
Nordin mengatakan, pasal yang telah dicabut itu memang bertentangan dengan konstitusi karena bersifat sangat umum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, frasa kalimat dalam pasal itu yang menyebutkan "adanya gangguan terhadap perkebunan". "Apa yang dimaksud dengan gangguan? Ini bisa diartikan berbeda-beda. Setiap orang bisa saja dituduh mengganggu usaha perkebunan," tegasnya.
Tidak hanya soal lahan, lanjutnya, bisa juga hal lain. Misalnya saja, sebuah perusahaan perkebunan mengajukan kredit ke bank, lalu bank terlambat menyalurkan kreditnya ke perusahaan. Kemudian akibat keterlambatan pengucuran kredit, tanaman dilahan perkebunan rusak, maka bisa jadi bank dianggap mengganggu usaha perkebunan.
Tak heran jika ia sependapat dengan opini yang menyebut kedua pasal itu mengkriminalisasi siapa pun yang menggangu usaha perkebunan dan melakukan tindakan okupasi tanah tanpa izin. “Ini pasal celaka dan multitafsir," nilai Nordin.
Pemerintah, kata Nordin, perlu mengkaji kembali aturan-aturan yang ada agar petani atau masyarakat adat tidak menjadi korban atas beroperasinya usaha perkebunan sawit.
Dalam artian, pasal-pasal dimaksud memang harus disesuaikan lagi dengan peraturan yang ada. Terutama, soal tumpang tindih peraturan, kewenangan, dan juga tumpang tindih kewajiban. “Selama ini, semua menjadi kacau balau, bingung dan sulit mendeteksi siapa pihak yang harus bertanggung jawab. Misalnya saja, dalam konteks kerusakan lingkungan atau pelanggaran HAM dan perampasan tanah, aturannya terlalu banyak. Akibatnya masing-masing pihak menggunakan peraturan yang menguntungkan dirinya,” jelas Nordin.
Dia juga mengakui, UU Nomor 18 lebih menginterprestasikan perkebunan dalam bentuk perkebunan skala besar, lantaran lebih menjamin perkebunan skala besar dan investasi, serta mendukung pelanggengan industri sawit besar dan pembukaan lahan baru. Artinya, UU tersebut memberi izin untuk menggunakan tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat.
“Itulah lucunya UU Perkebunan. Perkebunan hanya dimaksudkan sebagai perkebunan skala besar dan dimiliki oleh perusahaan, sementara kebun rakyat, entah dimaknai sebagai apa. Akibatnya, ketika perusahaan memasuki lahan atau kebun rakyat, seperti, karet dan lain-lain, pihak perusahaan tidak dikenai pasal gangguan perkebunan,” katanya.
Satu hal lagi, katanya, suatu kekejian yang luar biasa dimana terjadi stigmasi dan dan pen-stempe-lan bahwa warga yang menuntut haknya atas tanah, kerap disebut pihak pemerintah (perkebunan) sebagai salah satu faktor gangguan perkebunan. “Ini stigmasi yang sangat menyesatkan, tendensius dan tidak beradab,” tambahnya. (DeTAK-indra marbun)
Menyelamatkan Petani dan Masyarakat Adat
Dicabutnya pasal 21 dan pasal 47 UU Nomor 18 tentang Perkebunan, mendapat apresiasi dari Ketua Presedium LMMDD-KT H KMA M Usop. Usop menilai, pencabutan itu menyelamatkan petani dan masyarakat adat. "Mereka dapat 'merebut' kembali lahan yang diduga diserobot perusahaan perkebunan," katanya.
Selama ini, pandang Usop, UU Nomor 18 telah melanggar HAM dan memberi peluang memiskinkan, meminggirkan petani umumnya, termasuk masyarakat adat. Kedua pasal yang dicabut, menurut Usop, mengandung pengertian yang sumir berkenaan dengan "perbuatan yang melanggar" dan "diancam pidana" bagi siapa saja yang mengganggu kegiatan perkebunan.
"Jelas sangat mengganggu keberadaan masyarakat adat yang hak-haknya sudah diakui secara nyata (eksistensialis) oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ini yang terjadi luas di Kalteng dan daerah-daerah lainnya," kata Usop.
Putusan MK, tegasnya, merupakan putusan hukum yang besar (fenomenal) dalam penegakan keadilan dan kepastian hukum, sehingga pemerintah termasuk pemda beserta aparat penegak hukum, serta PBS wajib meninjau kembali kebijakan dan tindakan yang selama ini ternyata tidak memberdayakan masyarakat.
Keberpihakan kepada masyarakat adat, lanjut mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini, dijamin dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."
Ia menyarankan, pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat memikirkan kembali suatu pola pengelolaan baru kemitraan sesuai dengan kebijakan dan program revitalisasi perkebunan.
"Ini supaya lahan-lahan sengketa yang terlanjur sudah ditanam diserahkan kembali kepada yang berhak (baca: kebun masyarakat) dan produknya berupa buah dibagi hasil seadil-adilnya," kata Usop. (DeTAK-yusy)
Barometer Penyelesaian Sengketa
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng menilai, pencabutan kedua pasal UU Perkebunan cukup beralasan. "Sejauh ini sangat kontroversial dengan keberadaan masyarakat adat. Dimana, masyarakat adat adalah muara yang menerima masalah dari kedua pasal itu," tanggap Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Kalteng, Simpun Sampurna, pekan lalu.
Menurut Simpun, dicabutnya kedua pasal itu, masyarakat adat mendapat kesempatan untuk mempertahankan hak-haknya. Artinya, tidak ada lagi pengekangan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
AMAN menilai adanya babak baru terhadap penyelesaian sengketa masyarakat adat, baik itu dengan pihak kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Putusan MK itu, kata Simpun, hendaknya dijadikan barometer penyelesaian sengketa perkebunan yang selama ini terjadi, khususnya pada masyarakat adat Kalteng.
"Kami mohon hormati dan hargai hak-hak masyarakat adat sebagai pemangku hak ulayat. Putusan MK ini bisa menjadi corong utama penyelesaian sengketa tanah adat, baik dengan hukum formal saja maupun hukum adat yang berlaku di masyarakat adat itu sendiri," jelas Simpun saat ditemui di Sekretariat AMAN Kalteng Palangka Raya.
Dadut, sapaan akrab Simpun Sampurna, selanjutnya mengatakan,terkait investasi perkebunan yang lokasinya masuk kawasan masyarakat adat, maka penting sekali
menerapkan semacam etika, yakni persetujuan diawal tanpa paksaan. "Persetujuan awal itu dilakukan agar semua pihak bisa mendapat informasi yang seluas-luasnya. Masyarakat adat nantinya bisa mempertimbangkan menerima atau tidak. Termasuk, keberadaan program-program pemerintah yang akan masuk ke kawasan masyarakat adat," usulnya.
Persetujuan diawal, lanjut Dadut, dimaksudkan juga sebagai keseimbangan semua pihak statusnya dapat setara. "Ketika kegiatan atau program itu berjalan, masyarakat adat mengerti atau paham akan keuntungan dan kerugiannya. Pemerintah sebagai corong atau yang pertama yang memberikan mandat untuk investor, penting sekali menjelaskan tentang Etika ini,” tegasnya.
Dadut sependapat, bila kedua pasal yang dicabut itu sebelum dicabut sangat berpihak kepada dunia investasi, khususnya perkebunan kelapa sawit. Sementara masyarakat adat terkekang atau termarjinalkan dalam mempertahankan hak-haknya melalui kearifan lokal dan kebudayaannya.
Kedua pasal itu, juga dinilainya sering mengkriminalisasi masyarakat adat, seperti beberapa kasus pernah terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan, Barito Timur, dan lainnya. Dadut meminta, bila nantinya ada keinginan mengganti kedua pasal yang telah dicabut MK tersebut, maka sebelumnya perlu adanya suatu pertemuan antara investor dengan masyarakat adat atau sejenis jejak pendapat.
"Ini untuk mengakomodir kepentingan kedua pihak agar tidak saling dirugikan. Itu pun, ketika mengganti kedua pasal itu, tidak boleh ada campur tangan orang lain. Jangan sampai ada yang dirugikan dan diuntungkan," pintanya.
Sementara pihak DPR RI dan para elit tingkat nasional, sebagai pengetuk palu terhadap produk UU, penting sekali melihat dinamika masyarakat daerah atau masyarakat bawah. "Jangan hanya berpacu dengan dinamika di tingkat nasionalnya saja, tetapi penting melihat daerah, karena masyarakat lah yang akan menjalankan dan merasakan pemberlakukan suatu UU," tegasnya.
Menurut Dadut, kalau masyarakat tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan melalui UU, maka masyarakat akan terpinggirkan dan kembali dimarjinalisasi. Diungkapkannya, selama ini banyak masyarakat yang dituding pihak perusahaaan melakukan pelanggaran. Padahal, areal perkebunan dimaksud sebagian masih dalam kawasan masyarakat adat.
“Hanya karena perusahaan yang memegang izin prinsip saja, masyarakat sudah tidak bisa lagi mempertahankan haknya. Anehnya lagi, pihak perkebunan sawit sudah mulai masuk ke kawasan kampung mereka. Bahkan, tanaman sawit sampai ke belakang rumah mereka,” bebernya.
Diakui Dadut, banyak masyarakat adat yang tidak tahu bagaimana cara mempertahankan haknya. Artinya, ketika masyarakat ingin mempertahankan hak adat, terbentur pasal 21 dan 47 itu. Akhirnya, masyarakat tak sedikit yang terkriminalisasi oleh aparat dengan dalih mengganggu perkebunan atau membuat gangguan disekitar perusahaan perkebunan.
Dadut mengatakan, seharusnya pemerintah melihat bahwa pemberian izin itu tidak semata-mata hanya karena para pemodal punya banyak duit, tetapi dilihat bahwa kebutuhan investasi yang dibangun itu juga untuk mensejahterakan masyarakat adapt dan lokal.
“Kalau investasi itu dilakukan dan masyarakatnya tidak sejahtera, sementara investornya semakin kaya, itu artinya tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bumi dan dan tanah air itu dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat," tegas Dadut. (DeTAK-indra marbun)
Perlu Suatu Kesepakatan
Perusahaan perkebunan kelapa sawit harus bisa merangkul masyarakat sekitar perusahaan. Salah satunya, menjalin kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat melalui plasma.
Begitu disampaikan Ketua Komisi B DPRD Kalteng, Artaban, saat mengawali perbincanannya dengan DeTAK terkait adanya pencabutan dua pasal dalam UU tentang Perkebunan. “Saya selaku wakil rakyat, keputusan apapun sepanjang hal itu berpihak kepada masyarakat Kalteng, saya sepakat” tandas Artaban, diruang kerjanya, pekan ini.
Menyikapi pencabutan kedua pasal dalam UU Perkebunan karena alasan mengkriminalisasi masyarakat dan tak sedikit tanah masyarakat adat diduga diserobot atau pun terjadinya tumpang tindih dengan areal perusahaan, Artaban mengatakan, masalah itu bisa dibicarakan kembali bagaimana baiknya.
Yang jelas, kata Artaban, secara sepihak tidak mungkin pihak perusahaan mau menyerahkan sebagian arealnya yang notabene sudah tumbuh kelapa sawitnya lantaran dicabutnya kedua pasal itu.
“Tidak mungkin serta merta pihak perusahaan perkebunan mau menyerahkan areal perkebunannya yang terkena kawasan tanah adat kepada masyarakat adat. Kan, kita juga bisa memperhitungkan berapa investasi yang dikeluarkan terhadap perkebunan yang terkena kawasan adat tersebut,” terangnya.
Menurut dia, dirasa perlu dibentuk suatu kesepakatan antara pihak perusahaan dengan masyarakat adat, agar tidak terjadi perselisihan ataupun sengketa dikawasan tanah adat yang sudah ditanami kelapa sawit oleh pihak perusahaan.
"Tidak secara otomatis masyarakat adat bisa mengambil kembali hak-haknya atau lahannya yang masuk areal perusahaan, pasca dicabutnya kedua pasal oleh MK," jelasnya.
Kemungkinannya, lanjut Artaban, pemerintah membuat aturan baru agar semua kepentingan masyarakat adat maupun pihak perusahaan bisa berjalan dengan baik. Pencabutan kedua pasal itu, lanjut dia,justru bisa memudahkan komunikasi antara pihak perusahaan dengan petani atau masyarakat disekitar areal perusahaan.
"Satu hal yang perlu dipikirkan semua pihak bahwa yang namanya aturan dalam UU itu sifatnya mengatur. Tujuannya agar semua pihak diuntungkan. Artinya, pengusaha itu selain mendapatkan keuntungan, juga berpihak kepada masyarakat dan petani sebagai pemilik lahan yang ada disekitar perusahaan,” tegas Artaban.
Dampak dicabutnya kedua pasal itu, terang Artaban, juga menjadi bagian koreksi dari pemerintah pusat dalam hal pemberian izin oleh bupati/walikota yang selama ini memberi kemudahan luar biasa kepada investor perkebunan.
Kata lainnya, kembali pemerintah pusat mengingatkan pihak perusahaan agar tanggung jawab pihak perusahaan bukan hanya membuka perkebunan, tetapi juga membangun kemitraan dengan masyarakat setempat. Dijelaskannya, wilayah perkebunan itu rata-rata adalah wilayah yang sebetulnya dekat dengan kehidupan masyarakat. Bahkan, tidak mustahil yang namanya wilayah atau areal yang ditanam pihak perusahaan itu adalah wilayah yang sudah dikelola oleh masyarakat.
"Selama ini, yang bisa diberi izin berdasarkan UU perkebunan adalah wilayah seperti itu. Sementara, disatu sisi masyarakat seakan-akan dimarjinalkan. Padahal, sebetulnya masyarakat adalah bagian yang terbesar yang mestinya selalu terjalin komunikasi dua arah," jelas Artaban.
"Yang namanya perbaikan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat wajib untuk diperhatikan. Kita menghimbau pengusaha tidak mengganggap tanggungjawab sebagai sesuatu yang memaksa atau akan merugikan pihak perusahaan,” tandasnya. (DeTAK-indra marbun)
Contoh Kasus Perkebunan
Dugaan kasus pencaplokan lahan milik warga Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau oleh PT Suryamas Cipta Perkasa (SCP) dilaporkan ke Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang.
Sekretaris Damang Maliku Oto Nusan melaporkan, lahan yang diduga dicaplok itu tanpa koordinasi sebelumnya. Upaya ganti rugi dari pihak perusahaan perkebunan sawit itu tak ada. Sementara lahan yang digarap luasannya mencapai mencapai 23.000 hektar.
Oto mengaku, sudah menempuh berbagai upaya penyelesaian, baik kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pulang Pisau maupun DPRD setempat. "Sudah sekitar empat tahunan ini, namun tidak ada hasilnya," bebernya, seperti yang dilansir ATN Center, Selasa.
Menurut Oto, Pemkab Pulang Pisau menjanjikan upaya mediasi dengan pihak perusahaan perkebunan, namun hingga kini belum ada realisasinya. Makanya, pihaknya melaporkan dan menyerahkan permasalahan kepada Pemerintah Provinsi Kalteng sebagai upaya terakhir. "Selain memohon perlindungan, warga juga mengharapkan sengketa lahan dapat diselesaikan secara damai," tutur Oto.
Menanggapi pengaduan warga, Gubernur menjelaskan, penyelesaian masalah di suatu Kabupaten adalah wewenang Bupati setempat. Dalam kasus ini, kata Teras, Pemprov Kalteng tidak bisa mengambil alih begitu saja. Apalagi Pemkab Pulang Pisau belum menyatakan tidak mampu menyelesaikannya.
“Pemprov Kalteng baru bisa menindaklanjuti manakala Pemkab Pulang Pisau menyatakan memberikan kepada Provinsi untuk menyelesaikan. Itu mekanismenya,” jelas Gubernur didampingi Sekda Kalteng Siun Jarias, Karo Administrasi Ekonomi Rawing, Karo Hukum serta Karo Humas dan Protokol Teras A Sahay.
Gubernur menegaskan, yang paling penting diteliti apakah PT SCP sudah memiliki izin lengkap. Kalau izinnya tidak lengkap, belum memenuhi semua semua aturan yang berlaku di negara ini.
"Kita tidak bisa mengatakan PT SCP sebagai pemegang izin. Atau dengan perkataan lain, mereka tidak mempunyai hak atas tanah seluas 23.000 hektar itu," jelas Teras. Gubernur meminta jajarannya untuk melakukan penelitian secepatnya tentang keabsahan PT SCP.
"Kalau ternyata izin yang dimiliki PT SCP tidak lengkap tetapi sudah membuka lahan dan sudah menanam, maka Pemprov Kalteng akan meminta pertanggungjawaban kepada Pemkab Pulang Pisau," tandas Teras.
Kepada Sekda Kalteng, Gubernur meminta agar segera meneliti perizinan perusahaan. Dari hasil penelitian akan disimpulkan apakah harus segera turun ke lapangan untuk melihat secara langsung lahan yang disengketakan. Karena kalau izinnya belum lengkap, berarti perusahaan tersebut tidak boleh melakukan apa-apa dulu, karena belum punya hak.
“Yang saya inginkan, investasi di daerah kita ini bukan untuk membuat rakyat menjadi susah, tapi harus bisa membuat rakyat di sekitarnya menjadi senang, makmur dan sejahtera,” kata Teras Narang. Kepada warga, Gubernur mengingatkan, menjaga suasana agar tetap kondusif. "Permasalahan ini harus diselesaikan dengan baik," pintanya.
Karo Administrasi Umum Setda Kalteng Rawing menambahkan, sesuai data yang ada, PT SCP memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Bupati Pulang Pisau dengan lahan seluas 20.000 hektar, tapi belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan.
“Tetapi data ini data sementara, karena kita akan segera melakukan rapat dengan Badan Pertanahan Nasional, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Biro Administrasi Hukum. Dari hasil pertemuan ini nantinya akan jelas, apakah PT SCP sudah sah atau tidak memiliki lahan tersebut,” jelas Rawing. (DeTAK-rickover)