Ketika Seniman Bersuara

DeTAK UTAMA EDISI 144

Komunitas Teater Kota Palanga Raya diundang mengikuti kompetisi Teater Indonesia Piala WS Rendra di Gedung Cak Durasin, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, 1-8 November 2010. Telah lama pula mereka melakukan latihan siang maupun malam. Sayangnya, semangat yang kini menyala bisa saja memudar sewaktu-waktu.
Untuk memberangkatkan sekitar 10 seniman saja, mereka mesti pontang panting mencari dukungan dana.Belum lagi keberadaan mereka disana selama mengikuti kompetisi. Jangankan kepastian, bayangan memperoleh bantuan sepertinya tak berbekas.
Padahal, yang diwakili nama daerah. Komunitas Kota Palangka Raya akan tampil pada 7 November 2010.
Ini kenyataan yang telanjang di depan mata, bahwa betapa sulitnya dukungan dana bagi kegiatan berkesenian. Tak salah memang, bila para seniman melulu mengeluhkan persoalan klasik itu.
"Yang terjadi selama ini, kalau seniman punya gawe, katanya tidak ada anggaran. Padahal, anggaran itu sudah direncanakan sebelumnya," ungkap Muhammad Alimulhuda, Ketua Sanggar Teater Terapung Palangka Raya.
Yang membuatnya tak habis pikir, pada setiap pembuatan anggaran tahunan seniman tidak dilibatkan, sehingga apapun kegiatan seni dan budaya tidak semuanya dapat ter-cover.
Parahnya, untuk mentas saja terkesan terjadi diskriminasi. Eka Noviana membuktikannya. Kalau ada penampilan (baca: pementasan seni sanggar-red), katanya mencontohkan, terkadang tidak merata. Kalau membawa tim kesenian dari Kalteng, itu masih hanya untuk beberapa tim kesenian. Sementara, untuk sanggar tari itu sendiri hanya ditunjuk yang itu-itu terus.
”Kok tidak bergiliran dengan yang lain atau pembagian penampilan dengan sanggar lainnya? Dimana, kalau ada anak pejabat yang ikut sanggar, ya sanggar itu yang dibawa. Dimana, siapa yang kuat melobi, ya itu yang dibawa. Jadi tidak ada pemerataan sebenarnya antara sanggar-sanggar yang dibina," ungkap Novi, sapaan akrab Eka Noviana.
Wajar saja, jika seniman senior semacam Anwar Makmur senewen. "Sekarang terus-terang, para seniman di Palangka Raya ini ibarat orang yang tidak punya rumah. Mau berkegiatan kemana-mana harus membayar. Jika kita mau mempergunakan gedung oleh seni di Disbudpar Kota, yang dulunya adalah aset taman budaya, atau Gedung Mandala Wisata (kini, Gedung Eka Tingang Nganderang-red) kita harus bayar. Tidak ada tempat untuk berlatih. Istilahnya lembaga yang memfasilitasi itu tidak ada," ungkap Anwar.
Padahal mustahil, kata Anwar, mau mengembangkan pariwisata tanpa melibatkan seni. "Di daerah manapun yang pariwisatanya maju, itu pasti melibatkan para seniman," tandas pengasuh siaran Tebaran Sastra di RRI Kalteng ini .
Namun, rohnya seniman tak pernah padam. Mereka pantang menyerah oleh keadaan. Hamsiyah, seorang pelaku seni teater, menyatakan kesalutannya pada para seniman. Ditengah minimnya perhatian dan dukungan pemerintah daerah, proses kreatif para pelaku seni tetap berjalan dan tidak terhenti karena kurangnya perhatian.
Kalau mau menyebut, maka Jakaria lah orangnya. Sosok anak muda yang satu ini tergolong tahan banting dengan kondisi. Jaka, panggilan akrabnya, menegaskan, kesenian dan kebudayaan akan tetap menjadi bagian dari hidupnya walaupun tidak ada dukungan yang layak dari pemerintah. "Yang membuat saya bertahan di bidang seni budaya, karena adanya minat, hobi dan bakat di bidang ini. Itu yang saya miliki,” ujarnya mantap.
Budayawan Kusni Sulang mengungkap fakta. Yang terjadi selama ini adanya jarak antara birokrat kebudayaan dan pelaku kebudayaan itu sendiri.
"Gubernur mengatakan adanya 'jarak' inilah yang menyebabkan terseok-seoknya kehidupan kebudayaan di Kalteng," ungkap Budayawan Kusni Sulang mengutip ucapan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang ketika menerima delegasi Seniman-Budayawan Palangka Raya (KSB-PR) beberapa waktu lalu.
Kemungkinan meretas jarak itu lah yang kini ditempuh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, Rudiansyah Iden. Sesuai arahan gubernur, katanya, di 2011 mendatang akan diadakan temu bicara dengan seniman dan budayawan Kalimantan Tengah (Kalteng).
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Budaya Bakri Y Saloh juga begitu. Pihaknya, kata Bakri, sudah menyediakan Gedung Mandala Palangka Raya sebagai wadah kreativitas para seniman Kalteng.
Tentang dipungutnya biaya sewa atas penggunaan Gedung Olah Raga Seni Budaya dan Pariwisata mendapat jawaban dari Kepala Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palangka Raya Trecy Anden.
Pihaknya, kata Trecy, mau tak mau harus memungut biaya sewa atau retribusi atas penggunaan gedung tersebut sebab sesuai amanat dari Peraturan Walikota Palangka Raya Nomor 9 tahun 2007 tentang Retribusi Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah.
Begitu juga dengan belum adanya wadah khusus yang disediakan pemerintah daerah bagi seniman Kalteng mendapat tanggapan dari anggota Komisi C DPRD Kalteng, Iber H Nahason prihatin. "Tak hanya wadah, perhatian yang bersifat pembinaan pun dirasa kurang, sehingga aktifitas seniman itu berjalan sendiri-sendiri," tanggapnya.
Menurut Iber, kurangnya perhatian pemerintah belum tentu dikarenakan anggarannya tidak ada. Namun, selama ini pemerintah melalui programnya kurang kooperatif mengusulkan ke DPRD Kalteng apa yang menjadi program dari pengembangan seni budaya itu sendiri.
Bergeraknya seniman secara sendiri-sendiri juga diakui Sastrawan kondang, Abdul Fattah Nahan. Seniman senior ini mengatakan, kondisi demikian akhirnya memaksa para seniman melakukan pendekatan kepada pihak ketiga. "Dalam menjalin kerjasama ada yang bergerak dengan melakukan pendekatan kepada pihak sponsor, atau pendekatan lainnya," sarannya. (DeTAK-rickover/yusy/indra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar