Menyoal Inpres Moratorium

DeTAK UTAMA EDISI 177

Pada 20 Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Inpres Moratorium hutan primer dan lahan gambut. Inpres ini dipandang pemerintah sebagai langkah menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Kontan berbagai komentar bermunculan sebagai reaksi diteken Inpres itu. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menolak. Alasannya, Instruksi Presiden (Inpres) No 10 tahun 2011 tentang Moratorium (penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut diskriminatif.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo, menegaskan, pemberlakuan Inpres itu sangat mengganggu kedaulatan bangsa karena pengelolaan dana kompensasi moratorium hutan alam primer dan lahan gambut selama dua tahun yang harus dilakukan oleh lembaga keuangan internasional.
Sejumlah LSM lingkungan menyayangkan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No.10/2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang tak mencakup hutan sekunder.
Termasuk, Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Simpun Sampurna menyesalkan Inpres tidak memuat keberadaan masyarakat adat.
Namun tidak semua pihak menolak. Ada juga yang mendukung. Jurukampanye Hutan Greenpeace Bustar Maitar menyambut baik diterbitkannya Inpres moratorium izin hutan dan merepresentasi adanya perubahan politis menuju upaya perlindungan hutan Indonesia.
"Tetapi kami juga prihatin bahwa hanya hutan primer dan sebagian kecil areal gambut yang tercakup dalam moratorium, bahkan sebagian besar areal yang termasuk dalam peta indikatif moratorium adalah kawasan konservasi dan lindung yang dilindungi oleh hukum," katanya.
Esau A Timbang dari Jaringan Penyelamat Hutan dan Gambut Kalteng menilai Inpres berupa perintah yang harus diamankan oleh para gubernur dan bupati dan walikota dan aparat penegak hukum lainnya. 
Kusaritano menambahkan, yang perlu dipantau sejauhmana konsistensi semua pihak ke depannya. Menurutnya, dalam Inpres masih banyak multitafsir-multitafsir yang bias.
Untuk Kalimantan Tengah (Kalteng) sendiri Inpres dipandang tidak efektif. Direktur Eksekutif Walhi Arie Rompas memaparkan bahwa wilayah yang menjadi objek moratorium di Kalteng merupakan wilayah hutan lindung, seperti hutan lindung Batu Batikap dan Sapat Hawung, wilayah Taman Nasional Sebangau dan Tanjung Puting dan wilayah Suaka Marga Satwa Lamandau dan wilayah gambut, seperti Blok E dikawasan Eks PLG yang sudah berstatus kawasan lindung, namun sayangnya kawasan tersebut juga sudah menjadi site kerja oleh lembaga konservasi internasional dan bukan dikuasai oleh masyarakat lokal. (DeTAK-indra/rickover)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar