DeTAK UTAMA EDISI 142
Memang cukup mengejutkan, jika di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih ada guru lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Apalagi sebagian besar guru itu mengajar pada jenjang pendidikan dasar, seperti Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
Data dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalteng menyebutkan jumlah guru lulusan SMP sebanyak 342 dari jumlah total guru di Kalteng, 46.215 guru. Sebagian guru tersebut rata-rata berusia 50 tahun.
Masalahnya sekarang, ditengah diberlakukannya kualifikasi dan sertifikasi nasib mereka pun diujung tanduk. Maju tidak bisa, mundur pun kandas. Maju, dalam arti ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi faktor usia jadi pertimbangan sendiri. Mundur, yang muncul malah pertanyaan mau diapakan?
Dilematis memang, apalagi Kepala LPMP Kalteng Krisnayadi Toendan, memastikan soal kualifikasi dan sertifikasi merupakan harga mati. "Apapun alasannya untuk tenaga pendidik minimal kualifikasi S1 atau D4. Itu sudah menjadi harga mati,” tandasnya.
Kemungkinan mereka dijadikan tenaga adminstrasi saja. Begitu diucapkan Ketua Komisi C DPRD Kalteng Ade Supriadi. Kalau memang tuntutan ke depan tenaga pendidik harus melalui sertifikasi, mungkin guru yang tidak memenuhi syarat dimaksud sebaiknya dialihkan menjadi tenaga administrasi.
Anggota Komisi III DPRD Kota Palangka Raya Subandi juga berharap demikian.
Subandi memandang, untuk memajukan kualitas dan mutu pendidikan harus dimulai dari tenaga pengajarnya, tidak hanya melakukan pembangunan sarana dan prasarana sekolah saja.
"Peningkatan jenjang pendidikan merupakan salah satu program untuk peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Dewan sendiri dalam beberapa kali kesempatan sudah menyampaikan kepada Pemko untuk memaksimalkan anggaran demi peningkatan jenjang pendidikan guru," jelas Subandi
Namun Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalteng Tambunan Jamin memberikan solusi, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 18 tahun 2009. Dalam aturan itu disebutkan adanya profesional berkelanjutan.
Masyarakat pun terpecah tanggapannya tentang masalah ini.
Ada merasa hal ini soal serius, ada pula yang tidak. Nora Walter menilai, pendidikan guru yang hanya lulusan SMP sangat berpengaruh pada mutu pendidikan level dasar.
"Dunia pendidikan kan berkembang? Jika tidak mampu mengikuti, maka dapat membuat mereka (guru-red) tertinggal, baik dalam materi maupun metode pengajaran, sehingga mutu pendidikan menjadi lamban,” ujarnya.
Adi Rufi terkejut. "Kalo diliat dari lulusan pendidikan memang tampak nggak layak. Tapi, kalo aku ngeliat dari potensi aja lah,” ujarnya. Dengan usia rata-rata 50-an, Rufi beranggapan, semakin tua akan semakin bijak. "Mereka lebih berpengalaman dalam mengurus anak. Lagipula, karena ukuran umur 50 tahun wajar saja, karena zaman dulu
sangat sulit menempuh pendidikan ke jenjang berikut (baca: jenjang lebih tinggi-red). Beda ama sekarang,” ujarnya.
Edward Runtukahu lain lagi, ia memilah. Ia berpendapat, porsi pendidikan yang diberikan bagi murid TK lebih banyak mengarah kepada pengembangan motorik dan semangat dalam bersosialisasi.
Lain halnya, jika berbicara tentang pengajar SD lulusan SMP, Edward memastikan, akan memberikan dampak buruk bagi kualitas murid SD. Di SD dibutuhkan kemampuan akademik yang baik untuk dapat membuat suatu pola pengajaran yang terstruktur, dinamis, akurat dan berkualitas.
Akedemisi Universitas Palangka Raya (UNPAR) Profesor Norsanie Darlan mengingatkan, soal profesionalisme yang menjadi taruhan. Norsanie mengatakan, tuntutan merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif.
"Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional," kata Norsanie. (DeTAK-rickover/indra/yusy)
dapatkan berita DeTAK UTAMA selengkapnya di TABLOID DeTAK EDISI 142
dapatkan berita DeTAK UTAMA selengkapnya di TABLOID DeTAK EDISI 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar