PALANGKA RAYA, DeTAK-Pengelolaan atau penataan ruang kawasan dan pembangunan infrastruktur makro pada areal eks pengembangan lahan gambut (PLG)sejuta hektar menjadi pokok bahasan diskusi jurnalis di Kantor PWI Cabang Kalteng, pekan lalu.
Diskusi yang menghadirkan dua pembicara kondang, yaitu Bismart Ferry Ibie, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Palangka Raya (UNPAR) dan Joko Waluyo, Project Manager Kemitraan Kalteng.
Dua pembicara itu nampaknya sepakat bahwa pengelolaan eks PLG masih memerlukan pengembangan sistem yang efektif guna mengelola ruang dan infrastruktur makro yang ada.
Bismart mengatakan dalam pengelolaan air misalnya, infrastruktur makro seperti jalan, jembatan, angkutan sungai, dan mitigasi banjir harus diperhitungkan.
Termasuk, digunakannya pendekatan master plan eks PLG sebagai petunjuk untuk membangun wilayah berdasarkan visi rehabilitasi dan revitalisasi.
"Master plan dijadikan rujukan untuk menyusun rencana tata ruang detil dengan tujuan mengarahkan modal dalam mengembangkan infrastruktur makro, seperti Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis/Khusus," jelas Bismart.
Ia mengusulkan perlunya rencana aksi atau tindakan prioritas dengan merevisi rencana tata ruang indikatif yang ada dalam lampiran Inpres Nomor 2 tahun 2007, serta draft RTRWP Kalteng untuk areal Eks PLG sesuai rencana induk yang telah dibuat. Revisi, kata Bismart, mencakup penanganan lahan gambut dan dataran rendah, memperbaharui RTRWP kabupaten/kota menjamin integrasi antara perencanaan dan pengembangan ruang. Kemudian, pengimplementasikan sebuah mekanisme yang baik dari level provinsi hingga level kabupaten/kota yang dapat menjamin pengembangan ruang yang maksimal, sesuai aturan dalam PP No 26 tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang.
"Hal ini akan menghasilkan strategi informasi infrastruktur makro berdasarkan rencana tata ruang detil dan pengembangan program dalam tahun jamak untuk infrastruktur makro sesuai dengan strategi investasi," jelasnya.
Usai penataan infrastruktur makro, lanjut Bismart, giliran penentuan zonasi. Zonasi ini merupakan aspek kunci dalam pengelolaan Eks PLG. "Dalam hal ini areal eks PLG diarahkan ke dalam zona pengelolaan. Dimana gambut dan dataran rendah harus dikelola dalam level bentang lahan yang didasarkan pada batas hidrologi atau kesatuan Hidrologi. Sedangkan, unit manajemen ditentukan berdasarkan kesamaan biofisik, serta kondisi sosial ekonomi yang membutuhkan pengelolaan yang terintegrasi guna mencapai tujuan yang diharapkan," terang Bismart.
Artinya, adanya dasar batasan zonasi areal hidrologis alami yang memisahkan lahan gambut dan daerah yang banyak mengandung mineral. Hal itu, terang Bismart, bisa dimulai dari muara Sungai Kahayan ke arah Anjir Kalampangan menuju Sungai Kapuas dan melewati blok A menuju Sungai Barito.
"Zonasi kawasan lindung seluas 773.500 hektar, kawasan penyangga budidaya terbatas seluas 352.500 hektar, kawasan budidaya seluas 295.500 hektar dan kawasan pesisir seluas 40.000 hektar," rinci Bismart.
Sementara itu, pembicara lain Joko Waluyo menjelaskan, penyusunan rencana induk rehabilitasi dan revitalisasi kawasan eks PLG telah diselesaikan menyusul permintaan gubernur Kalteng. Rencana induk itu memperoleh bantuan juga dari pemerintah Belanda.
Atas permintaan Bappenas, ungkap Joko, tim perencana menggunakan landasan Inpres No 2 sebagai dasar acuan, namun Bappenas meminta pertimbangan untuk mengembangkan dan penyempurnaan atas dasar pengetahuan dan temuan-temuan baru yang diperoleh sepanjang penyusunan rencana induk.
"Ini dilakukan untuk menghindari kesalahan masa lalu terulang kembali.Tim perencana, yang terdiri dari para ahli internasional dan nasional, termasuk UNPAR telah bekerja sejak Oktober 2007 hingga oktober 2008 untuk mengumpulkan data-data baru di kawasan tersebut, analisis bersama dengan serta dengan pemerintah, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya," jelas Joko.
Menurut Joko, rencana induk itu telah pula di konsultasikan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di 228 desa, 22 kecamatan, 4 kabupaten/kota dan di tingkat provinsi. Selain itu dilakukan pula uji coba rencana induk berbasis masyarakat di lima desa, yakni UPT III Palingkau, Desa Penda Katapi, Desa Anjir Pulang Pisau dan Desa Sigi.
Rencana induk, sambung Joko, telah menemukan tujuh tantangan utama dalam percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan itu. Diantaranya, pembakaran lahan dan hutan, manajemen dan rehabilitasi kawasan, manajemen konservasi dan lingkungan, pertanian, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan sosial ekonomi, kelembagaan dan kapasitas organisasi, serta perubahan iklim.
Humala Pontas, Kabid Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalteng menambahkan, selama ini juga perlindungan gambut di Kalteng tidak diperhatikan, sehingga tidak jarang mengakibatkan kerusakan gambut. Beberapa kegiatan yang mengakibatkan kerusakan gambut itu, seperti adanya perkebunan dan pertambangan. (DeTAK-yusy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar