Barak/Kos-kosan Diperdakan

DeTAK UTAMA EDISI 186

Pemaknaan istilah Kos-kosan atau dalam bahasa lokal di Kota Palangka Raya dan Provinsi Kalimantan Tengah umumnya disebut dengan Barak, sampai saat ini memang belum terdefinisikan secara baku, tetapi bagi kalangan mahasiswa atau masyarakat istilah Kos-kosan sangat lah familiar. 

FOTO ILUSTRASI : INDRA MARBUN
Bagi mahasiswa, Kos dipahami sebagai tempat tinggal sementara selama masa kuliah. Iip Wijayanto (2003: 15) mengklasifikasi istilah kos ke dalam beberapa kelompok, yaitu kos baik dimana yang dihuni bersama pemilik rumah ataupun tidak, asrama mahasiswa, dan rumah kontrakan.
Kondisi kos yang dihuni bersama pemilik rumah (induk semang) dan asrama mahasiswa biasanya lebih teratur karena telah ditentukan peraturan yang jelas mengenai kepengurusan kos, jadwal piket kerja dan waktu belajar. Berbeda halnya dengan kos kontrakan karena keadaannya lebih bebas.
Kos selain digunakan sebagai tempat beristirahat juga merupakan tempat belajar, berdiskusi, berkreasi, mengerjakan tugas-tugas kuliah dan kebutuhan lainnya. Kos bagi mahasiswa adalah rumah kedua setelah rumah orang tuanya yang jauh ditinggalkan.
Sehingga dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kos merupakan tempat tinggal sementara bagi mahasiswa selama masih menempuh masa kuliah dan juga bagi masyarakat selama belum memiliki rumah.
Namun, ditengah maraknya penyewaan Barak/ Kos-kosan tak ayal menimbulkan pula problematika. Umumnya, barak/kos-kosan belum memiliki kekuatan hukum yang pasti. “Dari sisi pemilik kepastian hukumnya tidak ada. Kemudian, dari sisi pendataan agar semuanya berjalan dengan tertib, semuanya juga tidak ada. Terkesan, siapa yang mau bikin barak, ya dibangun, sementara dampaknya sama sekali tidak terpikirkan," jelas Ketua DPRD Kota Palangka Raya Sigit K Yunianto.
Tak heran jika salah pemilik barak/kos-kosan menyarankan Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya menertibkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lebih dulu sebelum terbitnya Peraturan Daerah (Perda) soal  Izin Usaha Penyelenggaraan Barak/Kos terbit.
“Pemerintah Kota harus menertibkan IMB, sebab status tanah untuk mendirikan barak/kos-kosan harus jelas. Tidak sedikit barak yang tanahnya berstatus SKT dan bukan sertifikat hak milik,” beber Kilat Tarung.
Dua anggota DPRD Kota Palangka Raya M Saubari Kusmiran dan Subandi sependapat, adanya payung hukum berupa Perda yang mengatur usaha barak dan kos-kosan diharapkan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya aparat pemerintah di tingkat bawah seperti RT RW dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap keberadaan barak dan kos-kosan di wilayahnya.
Hanya saja, Wakil Walikota Palangka Raya H Maryono mengingatkan kalan Dewan jika Perda sudah diterapkan tidak malah menimbulkan biaya ekonomi tinggi pada masyarakat. “Jadi PAD bisa kita dapatkan, tetapi masyarakat merasakan manfaatnya,” terangnya.
Sebagai referensi dari bahasan utama ini, sejumlah  media online, diantaranya Multiply.com dan nandosimorangkir.blogspot.com disajikan. Tema pokoknya soal  pajak kos-kosan yang secara yuridis diatur dalam Pajak Hotel dan bisnis kos-kosan sebagai alternatif pemasukan. (DeTAK-indra/rickover)   


Tidak Semata Berorientasi PAD 
Pada dasarnya Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya sangat menyambut baik dengan terbitnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif DPRD Kota Palangka Raya tentang Izin Usaha Penyelenggaraan Barak/ Kos-kosan. Hanya saja, Raperda itu perlu dikaji lebih lanjut.
“Takutnya nanti, kita mengusulkan suatu Peraturan Daerah (Raperda) tentang Retribusi, lalu ditolak oleh Menteri Dalam Negeri,” ujar Wakil Walikota Palangka Raya Maryono, baru-baru ini di ruang kerjanya.
Dikatakan, munculnya Raperda itu tidak semata-mata berorientasi terhadap peningkatan target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi, dengan keberadaan barak/ kos yang ada selama ini, sejauhmana sudah pelayanan Kota Palangka Raya terhadap keberadaan barak/ kos itu.
Kemudian, bagaimana soal izin usaha penyelenggaraan Barak/Kos, karena  usaha barak dan kos perlu diatur agar sesuai peruntukannya.  Maryono mengatakan, bila DPRD Kota Palangka Raya ingin membahas Raperda dimaksud, Pemko berharap tidak membebani dengan biaya ekonomi tinggi. “Jadi PAD bisa kita dapatkan, tetapi masyarakat merasakan manfaatnya,” terangnya.
Bila nantinya wacana Raperda ini menguat untuk dijadikan Perda, lanjut Maryono, maka perlu adanya sosialisasi agar  masyarakat tahu dan siap ketika dilaksanakan.  Saat menyampaikan  pendapat Pemko terhadap dua buah Raperda inisiatif  Dewan soal  Retribusi Izin Gangguan dan tentang Izin Usaha Penyelenggaraan Barak/Kos pada paripurna ke-12 Masa Sidang II Tahun Sidang 2011, Maryono mengatakan, memahami  terbitnya dua Raperda  dilatarbelakangi semakin pesatnya pembangunan usaha masyarakat di bidang yang cenderung bersentuhan langsung dan menimbulkan gangguan lingkungan.
Sedangkan untuk barak dan kos-kosan, Maryono mengatakan, usaha barak dan kos perlu diatur agar sesuai peruntukannya dengan mengacu pada tata ruang wilayah kota.
Pemerintah, terang dia,  berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga. Artinya, pemerintah berhak untuk membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang tujuannya untuk memberdayakan potensi daerah. Sesuai Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, apabila ada Raperda yang diajukan eksekutif dan legislatif memiliki materi yang sama, maka yang diutamakan pembahasannya adalah Raperda DPRD, sedangkan Raperda Walikota sebagai perbandingan.
Terkait Raperda tentang Retribusi Izin Gangguan (HO), Maryono mengatakan, sudah ada Perda terdahulu, yakni Perda No 2 Tahun 2003, namun sudah tidak relevan dengan kondisi masa sekarang, sehingga diperlukan perubahan menyesuaikan dengan iklim usaha masyarakat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
“Perda diperlukan sebagai pengaturan, dalam rangka pengendalian, pengelolaan, dan penertiban agar lebih teratur, serta teurus secara profesional, dapat bertanggung jawab dan memiliki kepastian secara hukum,” paparnya.  Perda diperlukan untuk mewujudkan pembangunan daerah yang lebih baik. Dengan tantangan bagi semua pemimpin daerah supaya dapat mewujudkan pembangunan hukum sesuai dengan harapan masyarakat. (DeTAK-indra marbun)


Kepastian Hukumnya Tidak Ada
Para pemilik barak atau kos-kosan di Palangka Raya tidak bakalan bebas lagi menerima penghuni atau mendirikan tempat tinggal itu lagi. Sementara ini kalangan DPRD Kota Palangka Raya telah berinisiatif menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perihal keberadaan barak dan kos-kosan itu.
Ketua DPRD Sigit K Yunianto kala ditemui usai Upacara Hari Jadi Kota Palangka Raya, Senin pekan lalu, mengatakan, latar belakang diajukannya Raperda inisiatif Dewan itu lantaran mengikuti pesat perkembangan Kota Palangka Raya dan dinamika masyarakatnya.
Sedangkan terkait alasan internal barak dan kos-kosan itu sendiri lantaran keberadaan barak dan kos-kosan belum memiliki aturan sama sekali. "Dari sisi pemilik kepastian hukumnya tidak ada. Kemudian, dari sisi pendataan agar semuanya berjalan dengan tertib, semuanya juga tidak ada. Terkesan, siapa yang mau bikin barak, ya dibangun, sementara dampaknya sama sekali tidak terpikirkan," jelas Sigit.
Jangkauan utama Raperda, terang Sigit, untuk menertibkan pendataan warga dan yang tinggal di Kota Palangka Raya yang identitasnya harus jelas. Tidak sedikit, kata Sigit, warga yang tinggal di barak atau kos-kosan tidak diketahui identitasnya, sehingga cukup menyulitkan aparat jika terjadi sesuatu.
"Pemilik barak atau kos-kosan pun terkadang tidak mengetahui penghuni barak atau kos-kosannya. Padahal, identifikasi penghuni sangat penting diketahui," tegasnya.       
Tanpa diketahui identitas rinci penghuni barak, lanjut Sigit, akan berpotensi menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dalam masyarakat.
"Nah, ini yang coba kita atur. Misalnya, apakah baraknya itu diasuransikan? Ini kan penting dan malah menguntungkan pemilik barak kalau terjadi kebakaran. Itu salah satunya yang akan diatur. Yang lain seperti pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemko, legalitas hukum, dan penghuninya," tambah Sigit.
Sedangkan dari sisi keamanan dan ketertiban, sambung Sigit, sangat menguntungkan masyarakat dan pemilik barak atau kos-kosan.
Dalam waktu dekat, pihak Dewan akan segera melakukan konsultasi publik perihal Raperda itu. "Yang pasti semua aspirasi masyarakat dan pemilik barak akan kita tampung dalam Raperda, termasuk pengaturan bangunan barak itu sendiri," tutupnya. (DeTAK-rickover)

Intinya Bukan Retribusi
Raperda tentang Izin Usaha Penyelenggaraan Barak/ Kos pada intinya tidak menarik retribusi atau pajak. Ini ditegaskan Ketua Badan Legislasi (Baleg) Kota Palangka Raya M  Saubari Kusmiran kepada DeTAK diruang kerjanya, belum lama ini.
Raperda, terang Saubari, hanya mengatur perihal usaha barak/ kos di Kota Palangka Raya  harus memiliki izin. “Syarat izin itu lah yang kita atur dalam peraturan daerah (Perda). Itu intinya,” ujar kader PBB ini.  Anggota DPRD Kota Palangka Raya ini mencontohkan, usaha barak/ kos nantinya harus memiliki IMB, HO, dan mendapatkan izin dari lingkungan (RT/ RW-red). Sedangkan, penarikan retribusi merupakan efek domino saja. Artinya, pengusaha penyewaan barak/ kos hanya dikenakan persyaratan izinnya saja.
Terkait materi subtansi Raperda ini, Saubari mengatakan, pihaknya telah menyerap aspirasi  masyarakat di Kecamatan Pahandut dan Kecamatan  Jekan Raya. “Pada dasarnya masyarakat dan pengusaha barak/kos-kosan mendukung pembuatan perda dimaksud,” katanya.
Senada dengan Saubari, rekannya Wakil Ketua Badan Legislasi Subandi menambahkan, Raperda inisiatif dibuat karena perkembangan usaha kos dan barak cukup pesat.  “Ini juga terkait dengan menciptakan ketentraman, kenyamanan, ketertiban penduduk, serta kepastian hukum berusaha di bidang kios dan barak,” jelasnya.
Dalam Perda nantinya akan diatur kewajiban dan hak pemilik usaha barak dan kos-kosan, serta para penghuninya.  Menurut Subandi, adanya payung hukum berupa Perda yang mengatur usaha barak dan kos-kosan diharapkan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya aparat pemerintah di tingkat bawah seperti RT RW dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap keberadaan barak dan kos-kosan di wilayahnya. (DeTAK-indra marbun) 


Sebaiknya Dikenakan Perpintu
Kilat Tarung, salah seorang pemilik barak/kos-kosan di Palangka Raya, menyatakan dukungannya pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) soal Izin Usaha Penyelenggaraan Barak/Kos-kosan.
“Perkembangan usaha barak/kos-kosan cukup pesat, karena adanya perda  sangat diperlukan. Ini juga terkait dengan upaya menciptakan ketentraman, kenyamanan, ketertiban penduduk, serta kepastian hukum berusaha di bidang kios dan barak,”  tanggapnya.
Kilat juga setuju,  bila nanti dipungut retribusi terhadap barak/ kos-kosan, namun ia menyarankan sebaiknya dikenakan per pintu. Itupun, lanjut dia, sebelum retribusi dijalankan, sebaiknya Pemerintah Kota harus menertibkan IMB, sebab status tanah untuk mendirikan barak/kos-kosan harus jelas.
“Tidak sedikit barak yang tanahnya berstatus SKT dan bukan sertifikat hak milik,” bebernya.
Selain itu, lanjut Kilat, Pemko juga harus memikirkan timbal balik yang diberikan kepada para pengusaha barak/kos-kosan.  Misalnya, bagaimana penyediaan sarana umum, termasuk penyediaan tempat pembuangan sampah. Ia menyarankan, Pemko tidak terburu-buru merealisasikan pelaksanaan Perda. “Saya pikir, perlu kajian yang spesifik dan sosialisasi di masyarakat,” tambahnya.
Masalah lain yang dianggap perlu adalah pengawasan. Menurut Kilat, pengawasan ini perlu dicantumkan dalam Raperda.  Pemilik barak/ kos-kosan harus mengawasi penghuni barak dan membuat laporan yang tertib kepada RT/ RW setempat setidaknya tiga bulan sekali. “Terkadang barak atau kos-kosan sering dijadikan tempat kumpul kebo, maupun tempat pesta narkoba/ minuman keras,” katanya. (DeTAK-indra marbun)  


10 Pintu Dianggap Hotel
Bisnis properti yang berkaitan dengan persewaan tanah dan atau bangunan sedang marak belakangan ini. Ada alasan masyarakat baik secara sengaja
maupun tidak untuk menyewakan tanah dan bangunan. Sebagian besar dari mereka sengaja membuka bisnis persewaan tanah dan bangunan setelah mengenali potensi keuntungan materi yang besar. Sebagian kecil masyarakat juga hanya sekedar memanfaatkan properti yang menganggur sekaligus mencari
tambahan pengasilan untuk menopang hidup keluarganya.
Dalam praktiknya, persewaan yang dilakukan tidak hanya dengan bangunan berbentuk rumah tempat tinggal biasa melainkan juga dapat meliputi bentuk bangunan lain seperti apartemen, kondominium atau kios dan rumah toko (ruko). Di beberapa tempat, lahan kosong pun dijadikan sebagai obyek persewaan.
Belakangan ini, pengenaan pajak terhadap rumah kos menjadi isu yang banyak diperbincangkan dalam masyarakat. Secara yuridis, pajak kos-kosan diatur dalam Pajak Hotel yang termasuk dalam pajak-pajak daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah masing-masing provinsi di Indonesia. Pajak ini disebut juga sebagai pajak kos-kosan yang dikenakan terhadap obyek pajak yang pada umumnya merupakan rumah kos yang memiliki kamar sekurang-kurangnya 10 buah  pintu.
Pada beberapa daerah seperti kota Pekanbaru, pajak kos-kosan dikenakan hanya terhadap rumah kos untuk penyewa non-mahasiswa. Di kota Makassar, pajak ini tidak akan dipungut dari rumah kos yang berada di sekitar Universitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Makassar tetapi di semua tempat lainnya. Namun pada contoh normal seperti di provinsi DKI Jakarta, obyek rumah kos disebutkan termasuk dalam Perda No. 7 Tahun 2003 Tentang Pajak Hotel Wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai suatu penginapan atau tempat tinggal
jangka pendek.
Setiap provinsi memiliki ciri tersendiri mengenai kriteria yang harus dipenuhi sebuah obyek pajak. Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki parameter yang berbeda-beda dan rancu. Sebagian berdasarkan jumlah unit kamar dan sebagian lagi berdasarkan jumlah pendapatan yang diterima oleh subyek pajak dalam satu tahun.
Kebijakan-kebijakan baru tersebut pada umumnya menimbulkan reaksi yang negatif dari Wajib Pajak yaitu orang atau badan pemilik rumah kos yaitu mereka yang telah lama terbiasa tidak membayar pajak berdasarkan peraturan baru tersebut. Alasan keberatan mereka berdasarkan perhitungan rugi yang timbul berkaitan dengan pengurangan pendapatan atau dengan mengambil pilihan tindakan lain untuk menaikkan uang sewa kamar yang juga menimbulkan risiko menurunnya jumlah konsumen.
Sejauh ini, di dalam ketentuan mengenai Pajak Daerah, belum ditulis dengan jelas ketentuan yang mengatur bentuk-bentuk rumah kos yang dimaksud baik dari segi jenis bangunan maupun kondisinya. Pada hakikatnya, rumah kos merupakan tempat penginapan sementara yang tidak ditentukan jangka waktu pemakaiannya.
Ada atau tidaknya pemilik kos tinggal di rumah yang sama bisa saja dijadikan
alasan mengapa suatu tempat kos disebut sebagai rumah kontrakan. Dalam segi lain, rumah kontrakan pun bisa saja berbentuk vertikal seperti pada sebuah rumah susun atau flat. Ketentuan-ketentuan semacam inilah yang masih menimbulkan kerancuan dalam mendefinisikan rumah kos.
Dalam hal pengenaan pajak, rumah kos merupakan obyek pajak potensial yang disasar oleh beberapa pihak. Selain Pemerintah Daerah melalui Dispenda, ada Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan yang juga berkepentingan untuk memungut pajak. Pajak-pajak yang dikenakan oleh Direktorat Jenderal Pajak ialah Pajak Penghasilan (PPh) dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Di bawah ini terdapat beberapa penjelasan yang berkaitan dengan pajak-pajak seputar rumah kos.
1. Pajak Hotel dan Perda No. 7 Tahun 2003 Tentang Pajak Hotel Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Pajak Hotel diuraikan sebagai pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran.  Termasuk :
- Penginapan atau tempat tinggal jangka pendek.
- Pelayanan penunjang lain sebagai pelengkap untuk kemudahan dan kenyamanan.
- Fasilitas olahraga dan hiburan untuk tamu hotel.
- Penyewaan ruang acara / pertemuan.
- Tempat makan atau restoran hotel seperti kafe, kantin, bar, pub, dan lain-lain.
Pengecualian Objek Pajak Hotel :
- Asrama dan pondok pesantren / ponpes
- Fasilitas hotel dan hiburan yang diperuntukkan bukan untuk tamu hotel.
- Agen travel atau agen perjalanan yang berada di hotel.
- Toko, bank, kantor, salon dll yang ditawarkan kepada khalayak umum di hotel.
- Penyewaan rumah, kamar, tempat tinggal atau apartemen yang merupakan fasilitas yang terpisah dari manajemen hotel.
Subjek Pajak Hotel : Badan atau orang pribadi yang melakukan pembayaran ke hotel.
Wajib Pajak Hotel (WP) : Pengusaha hotel.
Dasar Pengenaan Pajak Hotel (DPP) : Jumlah pembayaran yang dibayarkan untuk layanan hotel. Tarif Pajak Hotel : 10 persen
Masa Pajak Hotel : 1 bulan takwim (satu bulan dihitung penuh) atau sesuai dengan keputusan gubernur yang baru.
Saat Terutang Pajak Hotel : Saat pembayaran ke hotel atas pelayanan hotel termasuk DP.
Sistem Pajak Hotel : Self assessment atau wajib pajak wajib menghitung, melaporkan dan membayar pajak yang terutang sendiri.Bentuk-bentuk fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek : gubug pariwisata (cottage), motel, pesanggrahan (hostel), motel, rumah penginapan, losmen, hunian wisata atau serviced apartment, pondok wisata dan penginapan remaja termasuk rumah kos atau kos-kosan yang memiliki jumlah kamar lebih dari 10 kamar atau lebih seperti rumah penginapan.
Rumah kos termasuk dalam tempat penginapan jangka pendek yang memungut uang sewa. Persewaan tersebut merupakan potensi ekonomi dalam sebuah transaksi. Pajak ini adalah pajak yang dibebankan kepada penyewa sehingga jumlah total pembayaran sama dengan biaya sewa ditambah pajak daerah. Besaran pajak ini adalah 10 persen dari nilai transaksi.
2. Pajak Penghasilan (PPh)
Kegiatan yang berkaitan dengan rumah kos secara mutlak dipandang sebagai transaksi persewaan tanah dan bangunan. Aspek pajak yang terjadi yaitu Pemotongan PPh Final berdasarkan UU PPh (UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diamandemen dengan UU No. 17/2000) pasal 4 ayat 2.
Yang dikenai PPh Final adalah penghasilan (imbalan) berkaitan dengan sewa-menyewa tanah dan bangunan yang bersangkutan.
Menurut peraturan ini, bangunan adalah berupa rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan (termasuk bagiannya), rumah kantor, rumah toko, gudang dan bangunan industri. Orang pribadi atau perusahaan yang menyewakan tanah dan bangunan akan dikenai PPh yang bersifat final.
Yang dimaksud dengan istilah 'final' adalah bahwa atas penghasilan (imbalan) sewa tanah dan bangunan tersebut tidak perlu lagi dihitung PPh-nya di SPT Tahunan PPh si pihak yang menyewakan dan menerima imbalan sewa. Jadi Wajib Pajak (WP) yang menyewakan dan menerima imbalan sewa hanya diwajibkan melaporkan penghasilan tersebut di SPT Tahunan PPh-nya saja PPh-nya tidak perlu dihitung lagi (di SPT Tahunan PPh) sebab sudah dikenakan saat imbalan tersebut diterima baik secara kas atau piutang.
Besaran PPh Final tersebut sebanyak 25 persen dari penghasilan.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Kegiatan menyewakan tanah dan bangunan merupakan salah satu jenis Jasa Kena Pajak (JKP) yang terutang PPN. Kegiatan persewaan akan terutang PPN apabila telah memenuhi tiga syarat secara kumulatif di mana persewaan akan terutang PPN apabila: 1) pihak yang menyewakan tanah dan bangunan sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, 2) penyerahan jasa persewaannya dilakukan di dalam daerah pabean, dan 3) kegiatan persewaan tersebut dilakukan dalam lingkup kegiatan usaha.
Pada prinsipnya semua pengusaha, termasuk pengusaha persewaan tanah dan bangunan, itu wajib PKP, tak terkecuali orang pribadi namun khusus untuk pengusaha yang masih tergolong Pengusaha Kecil, PPN boleh memilih untuk tidak menjadi PKP.
Mereka yang masuk kategori Pengusaha Kecil PPN adalah mereka yang omsetnya dalam satu tahun buku belum lebih dari Rp 600 juta. Jika omsetnya sudah lebih dari jumlah tersebut, maka pengusaha yang bersangkutan tidak dapat lagi memilih alias sudah wajib menjadi PKP. Kewajiban ini berlaku juga buat orang pribadi pengusaha persewaan tanah dan bangunan.
Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No. SE-56/PJ.53/2002 tanggal 29 November 2002, tertulis bahwa apabila seseorang menyewakan ruangan (rumah) untuk jangka waktu lebih dari setahun, maka orang tersebut sudah masuk kategori pengusaha dan jika penghasilan dari usaha persewaan tersebut sudah lebih dari Rp 600 juta setahun, dia sudah wajib PKP.
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Keuangan.Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6  bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Persoalan yang muncul adalah adanya benturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu terdapat pajak berganda / double taxation antara Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pemerintah Pusat berkepentingan untuk
mengamankan penerimaan negara sebagaimana telah diatur di dalam APBN sedangkan Pemerintah Daerah berkepentingan menarik pungutan untuk membiayai pemerintahan di dalam wilayahnya.
Setelah dipelajari penjelasan yang telah diuraikan di atas, terdapat persilangan
kepentingan untuk memungut PPN dan Pajak Hotel. Pertanyaan yang muncul dalam ketentuan tersebut yaitu bilamana sebuah rumah kos yang memiki jumlah kamar lebih dari 10 unit namun penghasilan bruto yang didapatkan lebih dari Rp.600.000.000,00. setahun akan dikenakan Pajak Hotel dan PPN. Dengan kata lain, terjadi pajak berganda (double taxation) dalam kasus tersebut.
Pajak berganda adalah suatu bentuk kurang efektifnya desain pajak yang memberatkan subyek pajak.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merancang pajak kos-kosan sebagai upaya intensifikasi penerimaan sehingga dicari sasaran-sasaran baru yang potensial menambah pendapatan daerah. Hambatan yang harus ditanggulangi adalah sulitnya mendata jumlah warteg secara tepat di mana pada saat ini baru tercatat sedikit rumah kosan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pajak mengurangi sumber daya yang dikendalikan oleh pengusaha rumah kos dalam arti uang sewa yang dibayarkan penyewa akan ditambahkan dengan pajak. Pajak yang dibebankan kepada penyewa sama-sama dirasakan berat oleh pemilik rumah kos.
Hambatan bukan saja datang dari pihak Wajib Pajak namun juga bisa berasal dari struktur ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan
teknik pemungutan pajak itu sendiri. Kerugian yang dapat timbul adalah turunnya permintaan masyarakat dalam pasar rumah kos sehingga menurunkan jumlah kamar kos yang terpakai. Hal tersebut juga dapat mengurangi kemauan pengusaha untuk berwirausaha.
Permasalahan lain yang timbul yaitu ketika pengusaha tidak bersedia untuk
membayar pajak yang dikenakan.Pengusaha rumah kos kemungkinan besar melakukan penghindaran pajak yang menjadi hambatan dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan target penerimaan kas daerah sulit tercapai. Akan tetapi, adanya pasar kebutuhan pokok seperti papan (perumahan) bersifat inelastis di mana peningkatan harga tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah konsumsi. Besaran pajak kos-kosan hanya senilai 10 persen uang sewa sehingga pajak kos-kosan tidak banyak mengakibatkan turunnya permintaan seperti yang dikawatirkan oleh pengusaha rumah kos.
Pajak pada hakikatnya merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat
balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Sesuai dengan pengertiannya, pajak dibentuk untuk memenuhi adanya kebutuhan untuk belanja barang publik dan distribusi pendapatan kepada orang yang membutuhkan dan pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaannya.
Hasil dari penggunaan pajak, termasuk pajak kos-kosan, ialah pembangunan infrastruktur fisik dan sosial di mana manfaat tersebut dinikmati oleh semua orang. (DeTAK-nandosimorangkir.blogspot.com/rickover)


Salah Satu Pemasukan 
Saat ini kebutuhan akan rumah petak untuk disewakan pada kalangan berpenghasilan menengah kebawah rasanya bisa jadi salah satu alternatif pemasukan bagi kita yang kebetulan mempunyai modal berupa (atau untuk membeli) sebidang tanah dan penambahan biaya bahan bangunan sederhana.
Apa saja yang kira-kira dibutuhkan dan perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan bisnis sewa-menyewakan rumah petak ini? Simak beberapa masukan berikut dari anggota milis Dunia Wirasausaha.
Hal pertama untuk menentukan bagus tidaknya prospek bisnis rumah petak dimasa yang akan datang adalah lokasi. Anda bisa membeli atau membangun rumah petak di daerah dekat pabrik misalnya, tentunya dengan harapan agak kelak para buruh pabrik akan memerlukan rumah petak anda untuk disewa. Biasanya harga sewanya adalah antara Rp 200,000 sampai Rp 250,000.
Nampaknya, koran pun bisa menjadi masukan kita untuk mencari dan menentukan lokasi penyewaan rumah petak sekaligus membandingkan harga-harga.
Lokasi strategis lainnya adalah yang berada di wilayah perkantoran atau kampus. Tentunya rumah petak disewakan sebagai kos-kosan dengan fasilitas yang lebih lengkap sehingga bisa disewakan dengan tarif Rp 300,000 – Rp 400,000 per kamar per bulan. Tarif ini disesuaikan lagi dengan utilitas yang disediakan atau ditanggung oleh pemilik seperti listrik dan air dan fasilitas lain seperti TV, AC dan komputer.
Suasana juga akan ikut menentukan tarif sewa. Kebanyakan mahasiswa yang jauh dari orang tua (walau satu kota sekalipun) cenderung memilih rumah kos yang terasa homy. Misalnya dengan pengadaan lahan hijau (taman belakang) rumah.
Pembayaran Sewa
Perbedaan dalam hal pembayaran untuk rumah petak biasa dan kos-kosan biasanya tidak menggunakan kontrak sewa (kebanyakan). Para penghuni
membayar lebih dulu dimuka untuk tiga bulan pertama, selanjutnya pembayaran perbulan seperti biasa.
Masalah yang mungkin timbul dalam hal pembayaran adalah penagihan uang sewa. Hal ini menjadi penting karena selalu saja ada kemungkinan penghuni yang 'bandel' dan mangkir dalam hal pembayaran.
Karena itu, sangat disarankan untuk:
· Mempunyai data yang lengkap tentang calon penyewa dan memastikan bahwa data-data tersebut benar adanya.
· Mempunyai referensi yang jelas tentang darimana calon penyewa mengenal kita.
· Untuk kos-kosan sangatlah penting mempunyai Ibu atau Bapak Kos untuk mengawasi kegiatan yang berlangsung sehari-hari (faktor kedekatan dan kenyamanan hubungan antara penyewa dan yang menyewakan bisa jadi faktor penting dalam hal kelancaran usaha) atau paling tidak, ada satu orang pengawas harian.
· Yang lain adalah meminta bantuan tetangga mengecek kos-kosan secara berkala walaupun hal ini menjadi alternatif paling terakhir. (DeTAK-Multiply.com/rickover)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar