DeTAK UTAMA EDISI 172
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalteng) hingga saat ini tak jelas juntrungannya.
Pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI dalam hal ini Komisi VI tak terlihat tanda-tanda mau mengesahkan RTRWP itu.
Nampaknya persoalan persentase angka menjadi pemicu gap antara Komisi VI dan Menteri Kehutanan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng.
Pemprov berpijak pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2008, sedangkan Tim Terpadu bentukan Pusat lain lagi. Seperti yang dilansir ATN Center, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang mengakui, antara Perda Nomor 8 Tahun 2003 dengan rekomendasi Tim Terpadu yang dibentuk Pusat, terdapat perbedaan.
Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2003, luas kawasan hutan ditetapkan 67 persen dan kawasan non hutan 33 persen. Sementara dalam rekomendasi Tim Terpadu, 80 persen lebih untuk kawasan hutan dan untuk non hutan 18 persen lebih.
Tapi, ada yang aneh dengan Komisi VI itu. Berulang kali mengunjungi Kalteng dengan alasan ingin melihat langsung kondisi kawasan yang masuk RTRWP.
Berulang kali pula meminta data-data pelengkap dari Pemprov. Karena tak ada kepastian, tak salah jika dalam beberapa kali pertemuan dengan Komisi VI terkadang menyembul sentilan Komisi VI hanya 'jalan-jalan' di Kalteng. Hasil tinjauannya nihil.
Alasannya pun beraneka ragam. Terakhir, sebagaimana yang diucapkan Ketua Komisi VI Akhmad Muqowam sewaktu menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) VI Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalteng di Boutique Aquarius Hotel, Sabtu Maret lalu.
Setidaknya, kata Muqowam, ada dua soal yang mengganjal mulusnya pengesahan RTRWP Kalteng. Pertama, soal dua juta hektar lahan yang masih menjadi masalah. Kedua, menunggu selesainya peta tata ruang nasional kawasan hutan.
Menyangkut keberadaan Perda Nomor 8 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan Kalteng, HSA Fawzy Z Bachsin mengatakan, tekanan itu merupakan sesuatu yang wajar, karena terlalu lambannya sikap pihak pusat dalam penyelesaian RTRWP.
"Ini merupakan salah satu move guna mendesak pemerintah pusat segera menyelesaikan rencana tata ruang yang sudah diusulkan pemerintah Kalteng selama ini," nilai Fawzy.
Sama halnya dengan Ekonom Universitas Palangka Raya (UNPAR) Danes Jaya Negara. Ia melihat kesepakatan sebagai langkah yang sangat beralasan. "Jadi, apabila kepala daerah tidak mengacu pada RTRWP tahun 2003, maka akan kesulitan bagi daerah dalam rangka mengatur tata ruangnya," jelasnya.
Namun aktivis lingkungan Arie Rompas tak mau kompromi. Ia ngotot menyebut kesepakatan itu sebagai pembangkangan kepada pemerintah pusat.
"Perda No 13 tahun 2003 menjadi ilegal karena dasar hukumnya tidak jelas. Sebenarnya juga belum terdaftar di Departemen Dalam Negeri,” tutur Rio. Namun anggota Komisi A DPRD Kalteng H Imam Mardhani menegaskan, pembuatan Perda memang merujuk pada undang-undang yang lebih tinggi. Tapi, dalam proses pembuatan perda tidaklah berdasarkan pada satu item undang-ungang saja.
“Proses pembuatan perda itu biasanya tidak hanya dengan satu landasan hukum saja,” jelasnya. (DeTAK-indra marbun/rickover)
Selengkapnya Baca Tabloid DeTAK Edisi 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar