Tumpang Tindih Peraturan Kawasan Hutan Kalteng

DeTAK OPINI EDISI 172

Oleh : E. Dolok Martimbang

Iklim investasi di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) terlihat berjalan sangat lambat. Hal tersebut terindikasi adanya tumpang tindih serta ketidak harmonisan aturan perundang-undangan. Provinsi Kalteng tercatat sebagai salah satu pemilik hutan terluas di Indonesia, dengan luas kawasan hutan mencapai 10,3 juta hektar berdasarkan Perda Nomor 8/2003 tentang RTRWP Kalteng. Namun, provinsi yang memiliki luas keseluruhan hampir seluas Pulau Jawa ini tercatat sebagai salah satu dari 2 provinsi di Indonesia yang kawasan hutannya tidak pernah diakui Departemen Kehutanan. Salah satu penyebab utama tidak diakuinya kawasan hutan tersebut adalah begitu banyaknya persoalan dan alih fungsi hutan di Kalteng selama beberapa tahun terakhir.
Pembangunan perkebunan sawit di anggap dapat menyelesaikan sebagian masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, terutama akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan sumber pendapatan daerah yang besar dan dapat menyerap tenaga kerja.
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 disebutkan bahwa titik berat dan skala prioritas rencana pemerintah daerah untuk lima tahun berikutnya adalah “untuk menciptakan landasan yang kuat dan kemampuan untuk meraih peluang dan mengatasi tantangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan globalisasi ekonomi”. Hal tersebut dilakukan dengan mengelola dan mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, sektor perkebunan dan kehutanan, industri dan perdagangan, pertambangan dan sektor pariwisata yang di dukung oleh pengembangan kualitas SDM secara memadai. Dengan mengembangkan sektor-sektor tersebut, diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah yang akan dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan publik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu sektor yang cukup mendapatkan perhatian Pemerintah Provinsi Kalteng adalah sektor perkebunan. Seperti diberitakan di berbagai media dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan perkebunan sawit di Kalteng mengalami perkembangan yang pesat. Dari data tahun 2004, tercatat 75 perusahaan perkebunan sawit yang mengajukan dan yang diberikan izin sudah mengkonversi lahan tidak kurang dari 750 ribu hektar. Pemerintah Provinsi Kalteng akan membangun perkebunan sawit sejuta hektar dengan memanfaatkan lahan yang tersedia sekarang 1,7 juta hektar. Perkebunan sawit tersebut dibangun di Kobar dengan luas 300 ribu hektar, di Kotim dan Seruyan dengan luas 400 ribu hektar, serta 300 ribu hektar di Barito dan Kapuas.
Secara umum kita ketahui bahwa dengan dihentikannya semua kegiatan non kehutanan dalam kawasan hutan di wilayah Kalteng, pada saat ini oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan pengaruh besar dalam penyelenggaraan pembangunan regional maupun nasional, dan sudah barang tentu sangat berpengaruh pada perkembangan iklim investasi nasional. Sudah semestinya pemerintah memperhatikan azas legalitas atau konstitusional yang menetapkan Negara Republik Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Terbitnya UU No.32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, dalam hal ini kewenangan daerah menjadi semakin besar dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan” diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Nah, Kalteng merupakan provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan, pemerintah (khususnya departemen kehutanan) dalam perencanaan kehutanan menetapkan bahwa Kalteng masuk dalam kawasan kehutanan. Disini terdapat perbedaan yang sangat besar dalam penentuan suatu kawasan hutan. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat menentukan bahwa Kalteng masuk dalam Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/UM/10/1982. Tetapi dalam hal lain, Pemerintah Provinsi Kalteng menerbitkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah yang menetapkan tidak semua wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan APL.
Menilik hal tersebut, terjadi tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena TGHK tidak mempunyai payung hukum. Sedangkan RTRWP Kalimantan Tengah dengan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP pembentukannya didasarkan pada ketentuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Jadi dalam hal ini ketentuan mana yang harus dipakai bagi penanam modal atau investor untuk dijadikan suatu acuan.
Disamping itu, dalam ketentuan Pasal 14 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing pointnya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan tersebut hutan atau tidak maka prosesnya harus memenuhi unsur dari pasal 14 ayat 2 tersebut. Dan jika tidak memenuhi unsur tersebut maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal demi hukum.
Selanjutnya berdasar pada Pasal 15 ayat (2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP No.44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jadi sangat jelas bahwa Perda No. 8 Tahun 2003 tetap dapat dijadikan acuan untuk penentuan suatu kawasan hutan atau bukan hutan.
Jadi dalam hal ini terjadi tumpang tindih dan ketidakharmonisan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penentuan kepastian kawasan hutan yang mempersulit investor atau masyarakat setempat untuk mengembangkan daerahnya. Dalam ketentuan pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sangat jelas bahwa Keputusan Menteri tidak masuk dalam kerangka ketentuan perundang-undangan. Jadi yang menjadi pertanyaan dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut, apakah Keputusan Menteri merupakan Regelling atau Beschikking ?.
Beschikking merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dibidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa, bersifat nyata, individual, selesai sekali (final, einmalig), tidak mengikat umum. Beschikking meliputi surat keputusan, ketetapan dan Keputusan tata Usaha Negara. Peraturan daerah hanya dapat dibatalkan oleh peraturan presiden dan bukan berarti pula suatu Keputusan Menteri secara hirarki lebih tinggi dari suatu perda dan bukan berarti pula suatu Keputusan Menteri dapat membatalkan Perda. Karena jika mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah maka hanya terdapat tiga tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
Jadi sangat jelas siapa yang berwenang menerbitkan Regelling, yakni 3 (tiga) tingkatan pemerintahan tersebut di atas. Di Provinsi Kalimantan Tengah, Perda No. 8 Tahun 2003 telah ditetapkan, Untuk itu selama ketentuan tentang RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah belum disetujui oleh DPR maka Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP tetap berlaku selama belum dicabut oleh PERPRES dan Perda tersebut dapat dijadikan dasar untuk kepastian hukum bagi penanaman modal atau investasi dibidang perkebunan.
Terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antar Lembaga Negara membuat kebingungan, untuk itu diperlukan pembaharuan hukum antar Lembaga Negara agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan-peraturan tersebut. Selain itu terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antara kehutanan, pertanahan, dan pertambangan membuat iklim investasi tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kebingungan bagi investor.

Penulis adalah seorang editor dan praktisi media di Palangka Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar