Satpol PP Utamakan Pendekatan Persuasif

SUARA SKPD DeTAK EDISI 145

SIDAK-Walikota Palangka Raya HM Riban Satia melakukan inspeksi
mendadak (Sidak) di Kantor Satpol PP Kota Palangka Raya usai
liburan nasional lebaran beberapa waktu lalu. Nampak, Kepala
Satpol PP Sahidun P Umar dan Sekretaris Satpol PP Ch Kadarismanto
tengah memaparkan laporan kehadiran PNS lingkup Satpol PP
kepada walikota.
(Foto: Rickover)
Tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Palangka Raya mencakup banyak hal. Selain membantu kepala daerah menegakkan peraturan daerah (Perda), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, juga harus melakukan penertiban non yustisial.
Penertiban non yustisial ini berupa penindakan kepada warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melanggar Perda, mengganggu ketertiban umum, penyidikan hingga tindakan administratif.
Dengan tugas dan wewenang seperti itu, terkadang dalam realitanya potensi berbenturan rawan terjadi. Namun, Kepala Satpol PP Kota Sahidun P Umar menegaskan, sejatinya pendekatan yang dilakukan Satpol PP dilapangan jauh lebih sabar ketimbang institusi lain.
"Sebelum melakukan tindakan, kita lakukan pendekatan persuasif berupa teguran sebanyak tiga kali. Kalau itu tetap dilanggar, barulah tindakan penertiban dilakukan," jelasnya, Jumat pekan lalu.
Kalau pun dalam penertiban kerap terkesan rusuh, kata Sahidun, itu lebih disebabkan terjadinya tarik menarik akibat penyitaan barang. "Barang yang disita adalah barang bukti. Itu dibuktikan dengan pernyataan penyitaan," katanya.
Saat ini saja, terdapat dua lokasi sasaran penertiban, yakni Pasar Blauran dan Pasar Berpindah Tempat di kelurahan. Di Pasar Blauran mencakup beberapa jenis pedagang kaki lima (PKL), seperti PKL buah-buahan 180 orang, gerobak dorong 242 PKL, mainan anak-anak 182 PKL, sayur mayur 356 PKL, pakaian 320 PKL.
Kemudian, sepatu sandal 220 PKL, pedagang musiman 200 PKL, pedagang petasan 100 PKL, dan pedagang gorengan 100 PKL. Sedangkan, pedagang pasar dadakan yang sifatnya mobile dari kelurahan ke lurahan berjumlah 2.000 PKL.
Guna mengefektifkan pengawasan PKL tersebut, Satpol PP melaksanakan kegiatan patroli kota tiap hari melalui regu-regu pembinaan yang memang dibentuk untuk mengawasi jalur-jalur jalan yang ada PKL-nya.
"Selama ini patroli yang dilakukan regu-regu tersebut sangat efektif dan semakin mempermudah pengawasan maupun penertiban PKL," ungkap Sahidun ketika ekspose pencapaian pembangunan semester I di ruang kerjanya.
Hingga satu semester ini (Januari-Agustus 2010), lanjut Sahidun, pihaknya menertibkan sebanyak 48 orang yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP), 72 orang PKL, minuman keras 6 orang, gepeng 43 orang dan 120 laporan pengaduan dari masyarakat. "Semua pengaduan telah ditanggapi dan diproses," katanya.
Seperti hal dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya. Satpol PP juga dibebani pendapatan asli daerah (PAD). Hingga Agustus target PAD yang berhasil dicapai Rp57.500.000. PAD ini diperoleh dari retribusi penning (kartu tanda PKL resmi berjualan) sebesar Rp27 juta, retribusi becak Rp3 juta, dan pendapatan denda retribusi perizinan tertentu Rp50 juta.
Hanya saja, soal penyebaran penning kesatuan penegak Perda ini, tersandung fitnah.
Pasalnya, mereka dituding mengedarkan penning palsu. Belum lagi, disoal juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). "Saya dan Sekretaris (Sekretaris Satpol PP Kadarismanto-red) dilaporkan ke walikota, Polda dan gubernur. Tapi, semuanya tidak terbukti," ungkap Sahidun.
Sumber masalah, adanya salah persepsi bahwa penning dipungut setiap hari, padahal hanya ditarik sekali setahun. "Itu jelas-jelas fitnah. Kejadiannya tiga bulan lalu," timpal Sekretaris Satpol PP Ch Kadarismanto. Menurut Kadar, sapaan akrabnya, sesuai Perda Nomor 13 tahun 2009 tentang Pengaturan, Penertiban, dan Pengawasan Pedagang Kaki Lima (PKL) penning terdiri dari tiga. Penning pertama, diperuntukkan untuk PKL tenda dan warung makan. Kedua, untuk kios. Dan ketiga, untuk gerobak dorong, sepeda, kenderaan bermotor dan sejenisnya.
Hanya saja, kenyataan di lapangan membuktikan lain. PKL terdiri dari empat jenis, menyusul munculnya pasar dadakan. Pasar dadakan itu, menurut Kadar, akan dimasukkan dalam pengajuan revisi Perda. "Kita sekarang ini tengah menyusun draf revisi Perda No 13," lanjut Kadar.
Tahun ini, sambung Kadar, pihaknya sudah menyebarkan 4.000 penning. Tapi, jumlah itu masih dinilai kurang menyusul PKL, baik menetap maupun musiman semakin bertambah. Selain itu, Satpol PP juga akan memberdayakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) guna melakukan penindakan pelanggaran yang dilakukan PNS. "Konsep PPNS ini kita harapkan masuk anggaran 2011 nanti," sebut Sahidun lagi.
Menyinggung Satpol PP dipersenjatai, Sahidun menjelaskan, penggunaan senjata api ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja.
Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2010 tentang Satpol PP, dimana dalam pasal 24 menyebutkan, untuk menunjang operasional, Polisi Satpol PP dapat dilengkapi dengan senjata api yang pengaturan mengenai jenis dan ketentuan penggunaannya berdasarkan rekomendasi dari kepolisian.
Sahidun menegaskan, penggunaan senjata ini tidak boleh sembarangan. "Penggunaannya juga tidak bisa begitu saja, harus ada izin dari Polda. Kapolda menilai juga, apakah ini layak atau tidak diberikan. Jadi tidak sesederhana itu," kata dia.
Pemberian senjata itu pun, tambahnya, sangat selektif oleh kepolisian. "Karena izinnya tetap dari kepolisian setempat, tidak bebas otomatis. Kalau dinilai layak ya diberikan, jika tidak diizinkan, ya tidak. Kita koordinasi dengan Polri," kata dia.
Senjata yang diperbolehkan disandang petugas penegak Peraturan Daerah (Perda) itu sesuai dengan Permendagri, kata Sahidun, juga dibatasi berupa senjata peluru gas atau peluru hampa, alat kejut listrik dan semprotan gas. "Jadi bukan senjata tajam seperti yang dimiliki kepolisian dan TNI," kata Sahidun.
Sebenarnya kunci utama bisa tidaknya Satpol bersenpi, lanjut Sahidun, bermuara pada kebijakan pemerintah daerah dan pihak kepolisian. "Kalau pemerintah daerah melihat kondisinya memungkinkan, itu semata-mata untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan tugasnya membantu kepala daerah menegakkan peraturan daerah, serta membantu mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum," jelas Sahidun.
Sedangkan dengan kepolisian, sambung dia, lebih terkait pada izin kepemilikan, tes intelegensi atau kejiwaan, dan digunakan untuk apa senpi itu," timpal Sahidun. Hingga saat ini pihaknya masih menunggu bahasan Permendagri Nomor 26 tahun 2010 oleh Komisi III DPR RI.
Kalaupun disetujui, maka menurut Sahidun, yang boleh menggunakan hanya pada tingkat eselon III selain kepala satuan, tepatnya kepala bidang/bagian, kepala seksi dan sekretaris.
"Saya pikir, masih taraf wajar bila tingkat eselon III dipersenjatai, mengingat di lapangan mereka berhadapan dengan masyarakat yang cukup kompleks dengan latar belakang yang berbeda. Ini lebih menyangkut keselamatan jiwa," jelas Sahidun.
Dia menampik pendapat yang menyatakan munculnya wacana Satpol dipersenjatai terkait erat dengan peristiwa Tanjung Priok. Permendagri, jelas Sahidun, merupakan tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2010 tentang Satpol PP yang dikeluarkan pada Januari lalu.
"Tidak benar aturan itu lahir berhubungan dengan bentrok antara warga dengan Satpol PP di wilayah Koja Jakarta Utara April lalu, meskipun ada sebagian yang menarik simpul hubungan peristiwa berdarah itu dengan dipersenjatainya Satpol PP," tandasnya.
Barometer seperti itu, katanya, sangatlah tidak bijak. "Pada pertemuan di Jakarta membahas Satpol PP, justru masing-masing pemerintah daerah mendukung keberadaan Satpol PP," ungkapnya. (DeTAK-rickover)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar