Foto : Ist |
Tes psikologis tentu saja bukan merupakan hal baru dalam proses rekrutmen pejabat. Pemilihan pejabat negara atau kepala lembaga tinggi negara juga sering dilakukan melalui fit and proper test. Bahkan yang terakhir ini, pemilihan para menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II juga dilakukan melalui sebuah proses fit and proper test. Namun untuk kasus kepala dinas provinsi, ini merupakan sebuah terobosan bagi Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Tak tanggung-tanggung pemerintah provinsi mesti mendatangkan Tim Integrita. Sebuah lembaga konsultan psikologi profesional yang berkedudukan di Jakarta. Tim, yang menurut Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Kalteng, Kardinal Tarung, tak diragukan lagi kemampuannya. “Untuk Indonesia, barangkali hanya Kalteng yang pertama kali menggunakan jasa mereka melalui tes assesment eselon II,” kata Kardinal Tarung.
Adanya keinginan yang kuat dari Gubernur Agustin Teras Narang untuk melakukan reformasi di berbagai bidang terutama sekali proses rekrutmen kepala dinas. Jauh-jauh hari sebelumnya, hal itu sudah digaungkannya.
Intinya, pelaksanaan tes psikologis sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi. Dalam rekrutmen nantinya akan melahirkan pejabat publik yang memiliki kompetensi dan berkualitas. Kondisi ini akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelaksanaan tes psikologis juga merupakan upaya untuk menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintahan.
“Ini pertama kali di Kalteng, sehingga perlu didukung. Artinya, psikotes itu bukan lagi sebagai buatan, tetapi sudah menjadi tuntutan dengan tujuan akhir mampu membuat terjadinya reformasi birokrasi ,” kata Akademisi Universitas Palangka Raya (UNPAR) Sidik R Usop.
Sidik berkesimpulan, tes ini sebenarnya menjadi bagian penting bukan hanya bagi calon-calon kepala dinas, tetapi juga bagi staf-staf yang lainya. Sidik melihatnya sebagai sebuah pertanggungjawaban kepada publik di era keterbukaan. “Benar-benar ini sebuah pertanggungjawaban kepada publik, karena publik sekarang sudah mampu melakukan penilaian terhadap kinerja dari semua dinas-dinas yang ada,” katanya.
Tes, lanjut Sidik, juga mengisyaratkan adanya perubahan dan restrukturisasi dalam kelembagaan kedinasan, sebab kalau tidak maka kedepannya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga menjadi melemah, bahkan tidak ada.
Rektor Universitas PGRI H Suriansyah Murhaini juga berpandangan begitu. ”Saya rasa itu bagus. Mampu atau tidaknya seorang pemimpin akan kelihatan dari hasil tes itu,” katanya. Tes yang diadakan, kata Suriansyah, sangat beralasan. Pasalnya, untuk menduduki suatu jabatan bukan perkara gampang. Sasarannya, agar kinerja pejabat maksimal dan hasilnya bagus.
Hanya saja, Guru Besar UNPAR HM Norsanie Darlan mengingatkan, bila pola rekrutmen sudah , tetapi kinerja pejabat bersangkutan diragukan kemampuannya.
Kalau nantinya pola penempatan tidak sesuai hasil tes, jelas Norsanie, maka tes tersebut tidak ada gunanya. “Tes memang besar kegunaannya kalau memang dipakai, tapi kalau tidak itu berarti hanya digunakan untuk menakut-nakuti para pejabat itu saja. Karena memang tidak ada jaminan tes tersebut nantinya akan menempatkan seorang pejabat sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, bakat dan kepribadian,” jelasnya.
Tentang rawannya rekrutmen atau penempatan pejabat pada posisi tertentu terkontaminasi hal-hal yang bersifat subjektif atau politik, Sidik, Norsanie maupun Suriansyah, melihat potensi pertimbangan seperti itu berpeluang terjadi. Namun HSA Fawzy Z Bachsin menilainya sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi. Alasannya, kata anggota Dewan Perwaklan Daerah (DPD) RI asal Kalteng ini, karena masih kekurangan sumber daya manusianya. “Jadi, apa boleh buat, yang ada itu kita manfaatkan betul-betul,” katanya.
Setali tiga uang dengan pertimbangan politis, Fawzy menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. ”Saya kira penafsiran macam itu boleh-boleh saja terjadi saat ini, namun yang penting niatnya untuk memperbaiki agar hasilnya lebih baik, itu yang penting,” sebut mantan Ketua DPRD Kalteng ini.
Selama ini, kata Delfi, penataan struktur pemerintahan di Kalteng selalu berpijak pada right man in the right place (menempatkan seseorang sesuai bidangnya). Pemerintah provinsi benar-benar memfungsikan tiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai tupoksinya masing-masing.
Karena itu, ia menepis pendapat yang mencurigai terkontaminasinya hasil tes yang dilakukan. “Selama ini gubernur sangat selektif dalam mengatur hal itu. Saya rasa gubernur dalam menentukan pimpinan SKPD tidak bernuansa politis atau berdasarkan selera,” terang Kepala Bidang Kepemudaan Dinas Pemuda dan Olah Raga Kalteng ini.
Namun rumusan right man in the right place tidak selamanya jitu. Delfi mengatakan, terkadang dalam praktek seseorang yang sesuai dengan tupoksinya, namun tidak mampu bekerja secara profesional. Sebaliknya, ada juga seseorang yang bukan bidangnya, tapi mampu bekerja profesional.
”Jadi sebenarnya relatif. Masalah itu bisa diatasi sepanjang seseorang mau belajar atau menyelami tugasnya. Kecuali, pada dinas teknis atau bidang khusus penempatan pejabat tak bisa ditawar harus yang memiliki kemampuan yang sesuai,” tandasnya.
Sebagai penyeimbang, DeTAK menyuguhkan artikel Agustinus Sulistyo Peneliti, Muda LAN. Agustinus bersoal tentang sistem penyusunan dan pengembangan pola karir. Ia memaparkan tiga desain alternatif dalam rekrutmen, yakni : Desain alternatif pertama, yang mengadopsi kondisi existing kebijakan atau peraturan yang berlaku saat ini dalam pengelolaan kepegawaian. Lalu, Desain alternatif kedua, yang mengembangkan konsep pegawai profesional dimana jabatan struktural ditempatkan sebagai additional job. Sedang lainnya, Desain alternatif ketiga, yang mengembangkan konsep pentingnya penilaian kinerja, uji kompetensi dan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai dasar utama dalam pola karier. (DeTAK-rickover/indra/yusy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar