Yang Cacat, Yang Terhormat

DeTAK UTAMA EDISI 170

Ada pemandangan yang mungkin jarang ditemukan di Indonesia. Dua petugas stasiun kereta Japan Railway Akihabara bahu-membahu membantu seorang penyandang cacat (Penca) yang berkursi roda. Keduanya tergopoh-gopoh untuk sebisa-bisanya membantu pengendara kursi roda itu naik ke atas gerbong kereta Yamanote.

ILUSTRASI - ISTIMEWA
Pemandangan semacam itu adalah hal yang wajar di Jepang. Mungkin juga di negara lain. Penyandang cacat adalah warga negara kelas satu di Jepang. Dalam soal akses ke fasilitas publik, merekalah yang pertama kali harus didahulukan. Oleh sebab itu, semua fasilitas dan perusahaan publik sudah memiliki prosedur tetap guna melayani para penyandang cacat dalam mengakses fasilitas mereka.
Dalam urusan naik kereta listrik, begitu penyandang cacat datang, petugas stasiun akan mendatangi dan
menanyakan tujuannya. Si petugas akan menghubungi stasiun tujuan agar menyiapkan petugas penjemput. Kemudian, sambil membawa tangga papan untuk tumpuan kursi roda, petugas membimbing penyandang cacat ke gerbong yang menyediakan ruang khusus bagi pemakai kursi roda.
Begitu penyandang cacat naik, sambil tersenyum, tak lupa petugas memberitahukan agar berhati-hati dalam perjalanan. Tampak sekali bahwa para petugas itu sangat profesional: tahu betul apa tugas mereka, penuh perhatian kepada pelanggan, namun tetap tegas kalau dibutuhkan. Begitu catatan dari Totok Suhardiyanto.
Tapi di Indonesia, apakah seperti itu? Yang pasti aksesibilitas bagi penyandang cacat belum lah sepenuhnya dilakukan. Aksesibilitas yang menyangkut pekerjaan, pendidikan, fasilitas infrastruktur bagi penyandang cacat, baik itu di perkantoran maupun di pusat-pusat keramain atau perbelanjaan. Kalau diluar negeri, penyandang cacat adalah warga kelas satu, maka di Indonesia kira-kira warga kelas berapa? Tebak sendiri?
Kalau berbicara undang-undang sudah ada, yakni UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Konvensi Internasional pun sudah ada, yaitu Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities atau Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat. Indonesia, sebut Eva Rahmi Kasim, yang tulisannya dibeberkan dalam topik utama ini, sudah menandatangani melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah di New York, Amerika Serikat.
Di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Kota Palangka Raya keberadaan para penyandang cacat tak jauh berbeda. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Irwan Junaidi memandang, perhatian pemerintah daerah setempat masih perlu ditingkatkan. Ia menilai, perhatian pemerintah daerah masih belum terlalu banyak. Bahkan, dalam realitanya terkadang terbentur pada perlakuan yang berbeda. Peristiwa ditolaknya Dwi, lantaran cacat fisik oleh salah satu sekolah menengah pertama favorit di Palangka Raya beberapa tahun lalu, membuktikan kurangnya perhatian itu.
Wakil Ketua DPRD Kalteng Arief Budiatmo juga menyinggung hal itu. Berkaca pada kasus Dwi beberapa waktu lalu, Arief mengingatkan tidak terjadinya diskriminasi lagi bagi penyandang cacat di semua lini kehidupan. “Kasus yang dialami Dwi adalah salah satu contoh diskriminasi yang tidak perlu terjadi lagi dalam dunia pendidikan, khususnya di Kalimantan tengah.
Selayaknya, sekolah yang berbasis internasional menyediakan meja dan kursi khusus bagi orang-orang yang memiliki kecacatan fisik,” nilainya.
Kepala Seksi Rehabilitasi Penyandang Cacat Dinas Sosial Kalteng Alexander Prasetyo memastikan, pemerintah terus menangani penyandang cacat yang secara kuantitas cenderung meningkat melalui program rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Hanya saja, Ketua DPD Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Provinsi Kalteng, Junia Rendi, mengingatkan, membandingkan dengan era Orde Baru, penanganan penyandang cacat lebih baik, ketimbang di era reformasi dan otonomi daerah kini. Sama halnya dengan Ketua DPD Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan (FK-KADK) Kalteng, Evitoyo yang menyorot soal aksesibilitas fisik dan non fisik yang masih sangat kurang. Bahasan Utama juga dilengkapi berbagai peraturan internasional yang menyangkut penyandang cacat, yang semua diambil dari artikel milik Eva Rahmi Kasim, seorang pengamat sosial. (DeTAK-indra/rickover)

BACA DeTAK UTAMA SELENGKAPNYA DI TABLOID DeTAK EDISI 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar