Beraninya Keroyokan

DeTAK HATI EDISI 168
OLEH : SYAIFUDIN HM

Hati ini sedih dan gundah gulana ketika mendengar, melihat dan membaca berita di berbagai media massa bahwa pasukan koalisi yang terdiri Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, menggempur negara Libya dengan bom dan peluru kendali (Rudal), akibatnya banyak gedung-gedung hancur, tentara dan masyarakat sipil juga ikut tewas. Mereka membombardir Libya dibawah naungan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) Nomor 1973 tentang Zona Larangan terbang di sepanjang pesisir Libya. Setelah melakukan gempuran dalam sepekan terakhir banyak gedung-gedung hancur, tentara dan masyarakat sipil tewas menjadi korban. Karena ulah pasukan koalisi itu maka kecaman dari berbagai penjuru dunia bermunculan, karena ikut campur urusan dalam negeri orang lain. Jika kita mengikuti perkembangan dari awal krisis politik di Libya maka semula puluhan ribu demonstran di Libya menginginkan Pemimpin Libya Moammar Khadafi mundur dari jabatannya, tetapi tuntutan sebagian rakyatnya itu ditentang Khadafi sehingga terjadilah bentrok antara demonstran dengan aparat keamanan pendukung Khadafi yang menimbulkan korban jiwa. Seiring dengan berjalannya waktu, mulailah sejumlah pasukan militer pemerintah yang semula pendukung Khadafi membelot untuk mendukung rakyat dan para demonstran melawan pemerintah. Dengan demikian maka mulailah rakyat sipil dipersenjatai dan diberikan pelatihan militer secara singkat. Sejak para demonstran mulai memegang senjata melawan pemerintah, maka sejak itulah status para demonstran berubah menjadi pemberontak. Dalam beberapa kali penampilan Khadafi di televisi pemerintah Libya menyebutkan bahwa yang dihadapinya bukan lagi para demonstran, tetapi para pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Khadafi yang sudah berkuasa 41 tahun itu, bertekad untuk mempertahankan kekuasaannya dan membasmi pemberontak sehingga terjadilah pertempuran di mana-mana di seluruh Libya. Puluhan ribu bahkan ratusan ribu penduduk mengungsi, warga negara asing yang bekerja di Libya semuanya meninggalkan negara tersebut untuk menyelamatkan diri. Di tengah-tengah krisis politik yang semakin runyam di Libya tersebut, datanglah pasukan koalisi terdiri Amerika Serikat, Inggris dan Perancis menggempur ibukota Libya Tripoli dengan tujuan memaksa Moammar Khadafy untuk menyerah, tetapi fakta berbicara lain, pasukan pendukung Khadafy justru saat ini menghadapi dua lawan yakni pemberontak dan pasukan koalisi. Dengan adanya gempuran dari pasukan asing, menimbulkan simpati dari rakyat kepada Khadafy, terutama rakyat yang selama ini tidak ikut kelompok pemberontak. Jika kita simak krisis politik di Libya, sebenarnya pasukan koalisi terlalu ikut campur urusan negeri orang, apalagi beraninya hanya dengan keroyokan. Proses serangan koalisi di Libya ini, persis yang terjadi dengan Irak ketika pasukan koalisi menggulingkan Saddam Husein yang akhirnya tewas di tiang gantung. Seharusnya, DK PBB mengirimkan pasukan perdamaian, bukan mengirimkan kekuatan militer seperti yang terjadi sekarang ini, tindakan pasukan koalisi ini tidak berbeda dengan serangan teroris yang akibatnya juga menghilangkan nyawa manusia. Dari catatan yang diperoleh, setelah berkuasa melalui kudeta militer dengan menggulingkan Raja Idris I pada tahun 1969, Khadafy yang saat itu masih berusia 27 tahun dengan pangkat kolonel, menasionalisasi perusahaan minyak milik asing. Dengan kemampuan produksi 1,6 juta barel per hari minyak mentah, pembangunan di Libya maju dengan pesat sekali. Negara yang sebelumnya melarat dan tertinggal berubah menjadi sejahtera, indeks pembangunan manusia dan usia harapan hidup di negeri ini tercatat tertinggi di Afrika. Tahun 2010 lalu, pendapatan perkapita negara berpenduduk 6,5 juta jiwa itu mencapai 14. 800 dolar Amerika, meskipun rakyatnya sudah sejahtera, negara tetap saja memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Mengingat rakyat Libya sejahtera maka mengundang para tenaga kerja asing untuk mengadu nasib di negeri tersebut, tidak kurang 2 juta tenaga kerja asing yang ada di sana, sebanyak 1,5 juta dari jumlah tersebut berasal dari Mesir dan puluhan ribu orang lainnya berasal dari Eropa, AS, Cina dan Jepang. Selebihnya dari Tunisia, Banglades dan negara-negara di Afrika. Nah, yang menjadi pertanyaan kita? Bagaimanakah kondisi Libya setelah digempur habis-habisan oleh pasukan koalisi? Akankah kesejahteraan rakyat kembali tercapai setelah kekuasaan Muammar Khadafy jatuh? Semua itu, tidak bisa kita pastikan. Kita hanya berharap semoga krisis politik di Libya bisa cepat berakhir, dan PBB segera mengganti pasukan koalisi dengan pasukan perdamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar