DeTAK UTAMA 154
foto : DeTAK-YUDHET DOK |
Bagi sebagian orang tua atau wali murid bisa jadi nama komite sekolah (KS) menjadi momok yang menakutkan. Belakangan ini di Kota Palangka Raya nama KS mengundang kontroversi yang berbuntut pada polemik.
Polemiknya pun bermacam-macam. Ada yang kepingin KS dibubarkan saja. Ada juga yang ngotot KS tetap ada.
Padahal, yang dipersoalkan adalah besaran iuran komite, yang dianggap cukup memberatkan orang tua murid. Tidak sedikit pula orang tua merasa dirinya tidak diundang saat angka-angka dipatok.
Ada pula yang diundang, tapi begitu tiba di rapat tersebut nominal angka iuran serta pembiayaan lainnya sudah dibuat. Terkesan orang tua tinggal men-iya-kan saja.
Tentang ini, Akademisi dari Universitas Palangka Raya (UNPAR) Profesor Doktor Nursanie Darlan kontan menolak.
"Seharusnya komite sebelum membuat rancangan anggaran harus mengundang semua orang tua untuk berkumpul. Apakah sepakat begitu atau tidak? Kalau sepakat berapa biaya yang harus ditetapkan. Jika tidak, bukan sepakat namanya," tegas Nursanie.
Untuk mengatasi, Nursanie mengusulkan, harus ada pembagian yang jelas. Untuk dana BOS ditangani oleh sekolah, untuk iuran ditangani komite sekolah. Tapi, guru besar UNPAR ini, menolak kalau semua murid harus membayar iuaran. "Ada orang-orang tertentu harus kita gratiskan," katanya.
Sebenarnya aturan perihal pelaksanaan komite sekolah sudah jelas. Tak salah, jika Ketua DPRD Kota Palangka Raya Sigit K Yunianto meminta peran aktif Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kota Palangka Raya berperan aktif.
Ketimbang berpolemik tak berujung soal iuran komite, mending dilakukan saja penyeragaman nominal iuran komite.
"Saya pikir hal tersebut bisa dilakukan dibawah koordinasi Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Bisa dengan mengadakan rapat koordinasi (Rakor) guna mengambil keputusan itu," kata Sigit diruang kerjanya, Rabu pekan lalu.
Kepala Dinas Pendidikan Kalteng Guntur Talajan menawarkan solusi. Dalam penetapan iuran komite, katanya, harus mengundang seluruh orangtua/ wali siswa. "Minimal 60 persen harus hadir dalam menentukan kesepakatan terhadap iuran komite. Kesepakatan ini sifatnya sukarela. Siswa yang orangtuanya miskin disubsidi oleh siswa yang orangtuanya mampu,” ungkapnya.
Dalam menentukan iuran komite sekolah, lanjut Guntur, steril dari unsur penekanan atau pemaksaan. "Bila orangtua siswa itu tidak ikut atau tidak bisa memenuhi kesepakatan pada rapat komite. Tidak ada larangan bagi siswa untuk tidak ikut ujian dan lain-lain. Jadi, hal ini yang perlu diluruskan oleh pihak sekolah,” tekannya.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalteng Tambunan Jamin sependapat. Bila ada pendapat yang mengatakan, bahwa selama ini orangtua siswa kurang dilibatkan dalam menentukan rancangan angka atau nilai iuran komite, disebut Tambunan, semata-mata karena kurangnya sosialisasi saja.
"Kuncinya adalah komunikasi. Makanya, kepala sekolah dituntut kemampuan kompetensi sosialnya. Dalam artian, bagaimana kepala sekolah bisa berkomunikasi, baik itu dengan komite sekolah, membawa komite untuk berkonsultasi dengan orangtua. Hal itu sebenarnya salah satu dari karakter bangsa kita," tegas Tambunan.
Namun menyalahkan sekolah sepenuhnya tak bijak. Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Palangka Raya Suhardi Pandery menegaskan, pihaknya tidak pernah menentukan besaran iuran komite. Dalam setiap rapat komite, pihaknya selalu menawarkan besaran iuran komite kepada orangtua siswa tanpa ada paksaan.
”Dalam rapat komite, pihak orang tua lah yang menentukan berapa besaran iuran komite itu, bukan pihak sekolah,” tepisnya. Yang kerap menjadi kendala, katanya, terkadang orangtua siswa bila diundang dalam rapat komite hanya sebagian kecil yang hadir.
Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Kalteng, Krisnayadi Toendan Komite mengusulkan dibentuknya badan pemeriksa. Komite Sekolah keberadaannya memang mutlak diperlukan, sebab dari faktual di lapangan, terang Krisnayadi, pagu anggaran yang ada tidak semua yang bisa mencukupi kebutuhan sekolah. Selain pandangan sumber diatas, dihadirkan pula artikel Fatchul Mu'in berjudul Sekolah dalam Kondisi Dilematis?. Fatchul adalah Staf Pengajar FKIP UNLAM Banjarmasin. Artikrl ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008 lampau. (DeTAk-rickover/inda/yusy)
Baca DeTAK UTAMA EDISI 154 Selengkapnya di TABLOID DeTAK EDISI 154
Baca DeTAK UTAMA EDISI 154 Selengkapnya di TABLOID DeTAK EDISI 154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar