Kado Pahit Kebebasan Pers

DeTAK OPINI EDISI 195

Oleh : Dr. Marwan Mas, SH. MH

Salah satu pilar demokrasi yang selama ini masih dipercaya publik selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah “pers”. Saat ketiga pilar demokrasi itu tidak mampu menjawab persoalan bangsa, maka perslah menjadi tumpuan terakhir yang diharapkan merefleksi esensi kehidupan demokratis dan mengontrol perwujudan kesejahteraan rakyat. Harapan ini bukan tanpa alasan, pers memiliki kekuatan yang sering digambarkan seperti ”pedang tak bertuan” yang akan menebas siapa saja. Pers dianggap mampu menembus dan menepis batas birokrasi dalam memperjuangkan ketidakadilan.
Tetapi menjelang hari ulang tahun kebebasan (kemerdekaan) pers ke-12 pada 23 September 2011 disahkannya UU Nomor 40/1999 tentang Pers (UU Pers)-, lagi-lagi wartawan menjadi korban aksi kekerasan. Sejumlah wartawan dikeroyok dan kaset video peliputan tawuran dirampas oleh sekelompok siswa di Jakarta (16/9/2011). Padahal, para kuli tinta itu hanya memenuhi panggilan profesinya untuk mencari fakta berupa gambar dan berita yang akan diwartakan kepada masyarakat soal terjadinya tawuran antara siswa SMAN 6 dengan SMAN 70 Jakarta.
Wartawan yang hendak mengklarifikasi perampasan kaset video peliputan sehari sebelumnya di depan SMAN 6, malah disambut “kado pahit” berupa kekerasan dengan memukulinya. Sedikitnya empat wartawan mengalami luka-luka. Kekerasan belum berhenti sampai di situ, di Makassar kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini, menimpa Zainuddin (22/9/2011), wartawan stasiun televisi SCTV ditikam pada bagian perutnya oleh seseorang yang diduga terkait dengan pemberitaan soal narkoba. Belum lagi berbagai kekerasan terhadap wartawan yang terjadi selama ini, sehingga butuh atensi pemerintah dan masyarakat agar tidak terulang.
Perlindungan Negara
Merampas hasil karya jurnalistik, apalagi menganiaya wartawan jelas melanggar kebebasan pers. Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menjamin perlindungan bagi wartawan dalam melaksanakan profesinya, bahkan melanggar Pasal 351 KUHPidana. Bagi yang sengaja menghambat kegiatan jurnalistik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Ternyata kekerasan yang dialami wartawan karena profesinya selalu berisiko tinggi, sehingga butuh perlindungan negara (pemerintah) dan masyarakat.
Pasal 4 UU Pers mendesain sinergi antara jaminan perlidungan dan kontrol bagi pekerja pers. Aspek yang dilindungi dan tidak boleh dikebiri, adalah kebebasan pers, tidak dikenakan sensor atau bredel, berhak mencari atau memperoleh berita dan menyebarkan gagasan, serta mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Sementara Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menjamin perlindungan bagi wartawan dalam melaksanakan profesinya untuk tidak dihambat. Makanya negara wajib melindungi wartawan dalam melaksanakan profesinya, menjaganya dari ancaman kekerasan dalam berbagai bentuk.
Paling tidak ada tiga aspek yang bisa diapresiasi untuk melindungi pekerja pers. Pertama, perlu sosialisasi intensif tentang pentingnya kebebasan pers, bukan hanya pada kalangan masyarakat menengah ke atas, tetapi juga pada masyarakat kelas bawah, termasuk pelajar dan mahasiswa. Pengeroyokan sekelompok siswa bagi wartawan, perlu dijadikan pembelajaran kalau substansi kebebasan pers belum terinternalisasi dengan baik. Sosialisasi akan memberikan pengetahuan dan pemahaman bahwa tugas jusnalis sebagai salah satu pilar demokrasi dibutuhkan dalam era keterbukaan.
Kedua, karena pers berfungsi sebagai kontrol sosial yang juga berarti mengontrol pemerintah, sehingga pemerintah tidak boleh merasa terintimidasi oleh kehadiran pers. Fenomena yang tersaji selama ini, masih sering terjadi  kegundahan di kalangan birokrat jika ada wartawan yang mencoba mengusik suatu kebijakan yang tidak memihak rakyat. Meski tidak secara terbuka ditunjukkan, tetapi warga masyarakat bisa membacanya, apalagi jika wartawan dipersulit untuk mendapatkan informasi yang menjadi hak masyarakat untuk mengetahuinya. Apalagi masih besar kecenderungan mengkriminalisasi pekerja pers dalam pekerjaan jurnalistiknya.
Ketiga, negara harus lebih jeli melihat kemungkinan pekerja pers akan mengalami kekerasan. Kejadian di depan SMAN 6 bisa dihindari seandainya ada koordinasi yang baik antara polisi dengan wartawan saat akan melakukan klarifikasi. Polisi dan aparat pemerintah yang lain tidak boleh membuka peluang, apalagi membiarkan terjadinya kekerasan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya.
Stop Kekerasan
Kebebasan pers harus dijaga, dikelola, dan diamankan. Bukan hanya oleh  komunitas pers, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Salah satu pola baku untuk menjaga kebebasan pers, adalah melalui “safe press” bahwa praktik jurnalistik harus selalu mengacu pada kode etik jurnalistik. Pers yang sehat dan bertanggung jawab, seyogianya dibarengi dengan komitmen moral dalam menyebarluaskan informasi ke ruang publik. Berita yang disampaikan tidak menimbulkan persepsi negatif atau menumbuhkan sentimen bagi kelompok masyarakat tertentu.
Para kuli tinta harus jujur dan bertanggung jawab dalam menyajikan kebenaran. Meskipun kebenaran berita yang disampaikan bukanlah kebenaran hukum, tetapi kebutuhan yang menyejukan publik harus tetap dikedepankan. Sebab, acapkali terjadi benturan antara butir-butir kode etik jurnalistik dengan pasal-pasal peraturan perundang-undangan lain, sehingga setiap wartawan harus mampu mengapresiasi persinggungan itu.
Kebebasan pers tetap butuh kontrol agar tidak terjerumus ke ruang hampa, yang pada gilirannya bisa menghentikan atau mengeleminir potensi kekerasan bagi wartawan. Pers harus menghormati nilai-nilai agama, hukum, dan kaidah sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Lantaran pers bagian dari jaringan komunikasi, sehingga dalam menyajikan berita harus mampu memberikan kesejukan bagi publik. Tidak bernuansa provokasi, apalagi mengadu-domba antargolongan.
Lebih penting lagi, pemahaman terhadap fungsi kebebasan pers tidak dibiarkan mengambang di ruang hampa. Sebab masih lemahnya pemahaman tentang makna dan manfaat kebebasan pers, boleh jadi menyebabkan kekerasan terhadap wartawan masih terjadi. Saatnya “stop kekerasan terhadap wartawan”, kebebasan pers layak diapresiasi sebagai kebutuhan, bukan disikapi dengan kekerasan. 

Penulis adalah Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas 45, Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar