Buta Huruf Masih Banyak di Kalteng

DeTAK UTAMA EDISI 146

Sungguh ironis! Kalau bisa menyebutnya seperti itu. Soalnya, masih segar dalam ingatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) mendapat penghargaan keberhasilan mengentaskan wajib belajar sembilan tahun dan buta aksara. Namun nyatanya, masih ada masyarakat Kalteng yang buta huruf. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng mengumbar data 139.424 jiwa (6,3 persen) penduduk dari 2.202.599 jumlah penduduk.
Kontan, data itu membuat sejumlah kalangan tersengat. Tidak sedikit juga yang kebakaran jenggot. Eksperinya macam-macam, ada percaya, ada juga yang tidak.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalteng Tambunan Jamin spontan menyebut adanya data yang tidak pas yang slama ini dikirim ke pusat. Tambunan mengatakan, bila data BPS tersebut akurat, maka selama ini dinas pendidikan setempat diduga telah merekayasa data terhadap perkembangan dan kemajuan buta aksara.
Guru Besar Universitas Palangka Raya (UNPAR) Profesor Sanggam R.I. Manalu menilai data BPS luar biasa. Hanya saja, ia masih mempertanyakan satu hal. "Seperti kita ketahui, disekolah SD pun ada siswa yang naik kelas sampai kelas lima, tapi tidak bisa baca tulis. Apakah itu termasuk diantara angka 6,3 persen ini?” tanyanya.
Kalau dari sudut pandang Kepala Dinas Pendidikan Kalteng Guntur Talajan, perbedaan data antara BPS dan pihaknya bermuara pada perbedaan usia. "Sebenarnya tidak ada masalah. Perbedaan perhitungan antara BPS dan Dinas Pendidikan Kalteng hanya dari sisi usia saja,” tandas Mantan Kadis Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kota Palangka Raya kepada DeTAK diruang kerjanya, pekan ini.
Eman Supriyadi, Ketua Protect Our Borneo (POB)Central Kalimantan menegaskan, data BPS itu lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya angka masyarakat yang tidak lulus Sekolah Dasar. Jumlahnya cukup besar yaitu sekitar 519.813 orang atau sekitar 23,60 persen atau hampir seperempat jumlah penduduk Kalteng. Ia sependapat dengan Guntur bahwa data BPS itu menghitung sampai usia 60 tahun.
Hendra Gunawan, seorang guru SMA di Kabupaten Sukamara lebih mengajak pemerintah kabupaten atau kota berkoordiansi. Karena menurutnya, data tentang buta huruf tidak difokuskan pada satu sumber saja, tapi perangkat lain sebaiknya dilibatkan, seperti pihak kecamatan dan desa.
Sekretaris Komisi C DPRD Kalteng Syahrani Syahrin mendinginkan suasana. Ia mengajak, semua pihak ikut bertanggung jawab. Sebab, masalah pendidikan tidak hanya dibebankan pada Dinas pendidikan saja, namun semua sektor yang bergerak dan harus mengarah kesana (Pendidikan, red) agar semua masyarakat kalteng pada umumnya bisa baca tulis.
"Kita tidak perlu mencari akar masalah. Yang jelas program pendidikan yang telah mencapai 20 persen dari APBD Kalteng arahnya bagaimana menggerakkan masyarakat terbebas dari buta huruf dan wajib belajar sembilan tahun," kata Syahrani.
Namun Kepala BPS Kalteng WS Dantes Simbolon tetap berpendapat potensi buta huruf itu ada pada semua umur. Dantes menjelaskan, saat dilakukan pendataan warga ditanyakan soal kemampuan membaca dan menulis di usia lima tahun.
"Jadi, kita tanya apakah orang itu pada usia lima tahun sudah bisa membaca atau menulis? Ternyata yang ada sejumlah 9 persen yang tidak bisa," jelas Dantes. Kemudian, dari pertanyaan itu dilihat lagi dimensinya dari struktur usia. "Baru lah kita bisa memastikan bahwa yang buta huruf itu pada usia berapa," katanya. (DeTAK-rickover/indra/yusy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar